SEKULERISME, PLURALISME & LIBERALISME:
HOW FAR CAN YOU GO?
Oleh: Sholahuddin*
Pendahuluan
Masyarakat kita sekarang ini telah dilanda sebuah fenomena yang saya namai dengan gerakan formalisasi Syari’ah atau arabisasi di ruang publik. Masyarakat Islam Indonesia yang diidentikkan dengan masyarakat yang toleran, harmonis, mempunyai solidaritas yang tinggi dan tidak terlalu memerdulikan formalisme Syari’ah sedang diuji dengan datangnya serangan dari gerakan formalisasi syari’ah, terutama formalisasi Syari’ah di ruang publik[1]. Serangan tersebut datang dari berbagai elemen sosial-masyarakat yang muncul bersamaan dengan gelombang reformasi pada tahun 1998, sebagian lagi mereka membonceng partai politik Islam yang mempunyai visi dan misi untuk memperjuangkan formalisasi Syari’ah di ruang publik (public sphere).
Menurut hemat saya, tantangan terbesar kedepan bagi SPL (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme) adalah gerakan formalisasi Syari’ah Islam di rung publik (public sphere) ini. Terutama sekali dengan munculnya undang-undang desentralisasi daerah yang memberikan ruang penuh bagi daerah masing-masing untuk membuat Perda (peraturan daerah) yang unik, spesifik dan diterima masyarakat sekitar. Beberapa daerah di Jawa dan luar Jawa bahkan sudah memperdakan hal tersebut, sebagaimana yang ada pada perda Tangerang Nomor 8 tahun 2005 yang berisi tentang pelarangan, mencurigai pelacur yang berada ditempat umum, Perda Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang larangan perbuatan prostitusi dan asusila dan yang terakhir Perda yang ada di Bulukumba dengan sebuah pilot projectnya ”Desa Muslim”.
Kemunculan perda-perda tersebut memberikan dampak lebih lanjut bagi ummat beragama yang lain, misalnya untuk merespon perda-perda Syari’at Islam tersebut di Manokwari telah dilakukan inisiasi perda injil. Disinilah kita melihat bagaimana telah terjadi kontradiksi antara spirit demokratisasi yang menginginkan keadilan, persamaan didepan hukum (equality before the law) dan juga ruang publik yang bebas (free public sphere) dengan perda-perda Syari’at Islam tersebut. Sebetulnya, gerakan formalisasi Syari’at Islam telah berumur lama, kalau kita menilik sejarah akan didapatkan fakta sejarah yang memberikan penjelasan mengenai perdebatan para anggota dewan konstituante tentang penghapusan tujuh kata ”dengan mewajibkan Syari’at Islam pada para pemeluknya”. Dewasa ini, gerakan formalisasi Islam mengambil tiga bentuk; kultural, struktural dan politik. Secara kultural para penganjur gerakan formalisasi Syari’ah memperkuat unit terkecil dalam sebuah struktur masyarakat, yaitu keluarga (usroh). Dalam sebuah survei singkat yang diadakan oleh penulis diketahui bahwa para aktivist dakwah dan juga anggota partai-partai penganjur Syari’at Islam mempunyai jumlah keluarga yang jumlahnya besar. Di Yogyakarta misalnya, ada seorang anggota DPRD tingkat dua dari PKS yang mempunyai anak 14 dengan tenggat waktu kira-kira 1 tahun antara satu anak dengan yang lainya[2]. Hal ini menggambarkan world view (pandangan hidup) yang selama ini mereka pakemi bahwa keluarga sebagai basis utama dalam proses Islamisasi mempunyai peranan penting, karena pentingnya keluarga tersebut maka secara kuantitas jumlah mereka juga harus diperbanyak untuk bisa memberikan kontribusi suara pada pemilihan umum.
Secara politik dan struktural, para penganjur Formalisasi Syari’at Islam mendapatkan blessing in disguise (berkah tersembunyi) dari arus reformasi dan demokratisasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dan aktivist gerakan pada tahun 1998. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pasca 1998 telah terjadi perubahan, yaitu adanya kebebasan berekspresi, berpendapat, berkumpul dan juga berserikat yang belum pernah terwujud pada zaman Orde Baru (orba) dengan Soeharto-nya. Kebebasan untuk membentuk partai politik dengan berbagai macam ideologi dan varian gerakanya serta adanya pers yang relatif cukup idependen menjadi pressure group (kelompok penekan) terhadap penguasa. Bagi kelompok ini, reformasi juga berarti kebebasan untuk mengaspirasikan Syari’at Islam.
Tulisan ini akan mencoba mencari tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah issu Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme benar-benar akan menjadi obat mujarab (penecea) bagi kebangkitan Islam di Indonesia? Sedangkan kita mengetahui lembaga keagamaan laiknya MUI telah mengharamkan tiga issu tersebut. Tulisan ini akan mencoba memotret akar sejarah dari tiga issu Sekulerisme, Pluralisme & Liberalisme setelah itu baru akan melihat peta konstelasi pemikiran Islam di Indonesia dan akhirnya akan ditutup dengan membuat bagaimana tantangan yang akan dihadapi oleh tiga issu ”subversif” ini.
B. Akar Sejarah Pluralisme, Sekulerisme & Liberalisme
Harus diakui bahwa tiga isu besar ini adalah isu yang dihasilkan dari pergulatan intelektual yang ada di Barat, Islam sama sekali tidak mempunyai sejarah pergulatan empirik dengan tiga isu besar ini. Adalah abad ke-15 dan ke-16 menjadi sebuah penggal sejarah yang sangat menentukan bagi bangsa Eropa (turning point age), khususnya bagi Kristen Barat. Pada abad ini telah mengalami apa yang penulis sebut dengan copernican revolusion yang ditandai dengan penemuan-penemuan ilmiah dalam bidang ilmu eksakta dan ilmu sosial.
Revolusi bertubi-tubi yang menghantam dataran Eropa tersebut telah melahirkan berbagai macam ragam paham sekuler, seperti Rasionalisme, Saintisme, Humanisme, kapitalisme dan lain sebagainya. Semua paham tersebut pada intinya bereaksi negatif terhadap dominasi theosentris abad pertengahan yang meletakkan Tuhan sebagai tolok ukur utama segala urusan duniawi. Pemberontakan Sekuler tersebut menggeser pemusatan segalanya pada Tuhan (theosentrisme) ke pemusatan pada manusia (antroposentrisme). Manusia mulai dipandang sebagai makhluk otonom, bebas, rasional, bernilai pada dirinya yang tanpa adanya intervensi Tuhan dapat mengurus segala macam urusan keduniawiaan.[3] Keberadaan Tuhan oleh beberapa filosof humanis melah dianggap mendehumanisasi manusia karena menafikan tumbuhnya potensi manusia secara leluasa. Manusia yang masih berlindung dibawah ketiak argumen-argumen teologis dan menolak merumuskan argumenya sendiri tentang segala sesuatu menurut mereka adalah balita yang masih perlu untuk didewasakan. Pencerahan sebagai sesuatu gerakan adalah berorientasi untuk meninggalkan masa teosentrisme.
Asosiasi antara kebertuhanan dan kekanak-kanakan manusia atau dehumanisasi menjadi tema sentral beberapa pemikir atheis pada abad 19, laiknya Feurbach, Freud dan Nitzche. Mereka bisa dibilang sebagai algojo-algojo berdarah sekuler yang mematikan Tuhan demi kedewasaan manusia atau realisasi semua potensi manusia secara sempurna. Pada abad itu sekulerisme dan ateisme benar-benar telah menjadi sebuah proyek utama. Kemajuan sains dan teknologi melahirkan semangat otonomi dan independensi baru yang mendorong sebagian orang untuk memaklumatkan kebebasan dari agama dan Tuhan. Para pemikir pencerahan Feurbach, Marx, Freud dan Nitzche berijtihad dengan tafsir ilmiah dan filosofis atas realitas tanpa menyisakan ruang bagi agama dan Tuhan. Bahkan mereka mengatakan bahwa sekiranya agama dan Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang teremansipasi untuk membunuhnya.[4]
Secara etimologis kata sekuler berasal dari bahasa latin seculum yang berarti masa atau generasi dalam waktu temporal[5]. Ada juga yang memaknai sekuler dengan dua makna yaitu konotasi ruang dan waktu; waktu menunjukkan sekarang atau kini dan ruang menunjukkan pengertian dunia atau duniawi. Jadi seculum berarti zaman ini atau masa kini yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti peristiwa masa kini.
Var Puersen[6] melacak istilah sekulerisme melalui tiga pemilahan kebudayaan dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap mitis, yaitu tahap kebudayaan dimana manusia menghayati dunianya sebagai dunia yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan ghaib dan suci yang melampaui diri manusia, dan posisi manusia hanya akan berharga apabila dia mempunyai tempat pada jagad yang suci tersebut. Supaya manusia punya tempat, maka dia harus menselaraskan diri, tunduk kepada yang suci tadi. Tahap kedua adalah tahap ontologis, yaitu proses kebudayaan dimana manusia menghayati dunianya yang semakin dilepaskan dari kuasa yang sakral, pada tahap ini manusia melihat alam sebagai sesuatu yang harus diolah dan diteliti lewat ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge and science) untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Tahap ketiga adalah tahap fungsional, dimana manusia menghayati dunianya dengan berbagai pertanyaan: tentang fungsi penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk hidup manusia, baik individual maupun bersama, tentang fungsi yang ilahi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, orang menanyakan fungsi agama, hubungan manusia dengan yang ilahi, dan relevansinya dalam kehiudpan sehari-hari.
Dari pembagian diatas dapat ditarik kesimpulan adanya proses desakralisasi, yaitu semakin dibebaskanya dunia dari dominasi yang sakral. Selain itu juga ada proses demitologisasi yaitu semakin dibebaskanya manusia dari berbagai mitos yang sebelumnya menjadi penjelasan manusia yang rasional mengenai gejala alam dan sekaligus merupakan belenggu yang menghambat kesadaran rasional manusia.
Sedangkan Liberalisme adalah ideologi moderen par-excellence karena ia muncul bersamaan dengan modernisasi dan berbagai pertentangan ideologis dalam masyarakat. Kita bisa menjelaskan dari mana saja mengenai liberalisme, tetapi dalam hubunganya dengan pluralisme dan sekulerisme, kita harus memulainya dari suatu dimensi sosial, yang kemudian menentukan hubungan agama dan negara, yaitu pasar dan hak-hak milik pribadi. Minat liberalisme adalah kebebasan, dan kebebasan yang lebih spesifik disini adalah kebebasan individu. Dalam arti ini liberalisme sangat sensitif dengan kolektivisme dan absolutisme kekuasaan.[7]
Sedangkan Pluralisme mempunyai operasi didalam kebudayaan dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi nilai didalam masyarakat modern. Dasar dari pluralisme adalah the fact of plurality, yaitu suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi, maka masyarakat itu akan mengalami pluralisasi nilai didalam dirinya. Sekulerisasi adalah tahap pertama bagi adanya pluralisasi nilai tersebut. Karena sekarang bidang politik dan agama tidak menjadi satu entitas tetapi telah menjadi dua, langkah selanjutnya adalah bidang privat, yaitu masyarakat itu sendiri lewat liberalisasi berfikir dan nilai-nilai yang dipakeminya harus mengalami pluralisasi.[8]
C. Konstelasi Pemikiran Islam di Indonesia
Islam Indonesia, bahkan sampai desa akhirnya menjadi lahan kampanye agama yang hebat oleh kelompok Islam militan, sebab Desa sering dianggap sebagai basis abangan yang ber-Islamnya sedikit kurang autentik atau murni. Pemilahan Abdul Munir Mulkhan atas Islam di Desa Wuluhan sepuluh tahun yang lalu, memberikan gambar bahwa di desa ada varian-varian orang berIslam; yakni Muhammadiyah Ahmad Dahlan, Muhammadiyah Al-Ikhlas, Munu, dan Marmud. Tesis Mulkhan saya kira bisa menjelaskan bahwa dalam desa karakteristik Islam itu bervariatif, dan diantara mereka bisa saling ketemu, tetapi sekaligus bisa saling bersitegang, tetapi mereka tetap satu desa[9].
Sekarang ini, fenomena ke-Islaman di desa sebenarnya masih variatif seperti yang dikemukakan Munir Mulkhan di atas, hanya saja belakangan muncul gerakan Islamisasi Indonesia, yang menghendaki pemurnian Islam di Indonesia dari tingkat desa sampai kampus-kampus, sehingga ceramah-ceramah ke-Islaman mengarah pada bagaimana agar penduduk desa yang muslim harus fasih dalam berbahasa arab, berdoa, mengaji, melafalkan kata-kata arab, sampai dengan wiridnya. Pendek kata masyarakat Islam Indonesia, sekarang menjadi ajang pertarungan kelompok Islam yang menghendaki puritanisme dalam beragama, karena desa disinyalir identik dengan banyak bid’ah, syirik, tahayul, dan serba tidak Islam lainnya[10].
Gejala Islam fobia pasca ancaman terorisme 11 september juga turut mendongkrak ’buruk’ citra Islam di mata dunia internasional. War against terrorism adalah slogan yang secara terus menerus digalakkan dan bahkan didanai oleh Amerika Serikat. Terorismepun menjadi perbincangan yang dihadirkan dan ”seksi”. Berbagai media mengulas dan menghadirkan artikel-srtikel yang mengulas seputar tema Islam dan terorisme. Dalam tingkat politik regional, negara-negara ASEAN didesak oleh USA untuk membincang terorisme dan membuat undang-undang tindak pidana terorisme. Terorisme bukanlah kasus yang mudah dimengerti per-definisi, dengan mengambil teori Samuel Huntington terorisme adalah bentuk ekpresi kulminatif bahwa laju perdaban dunia sekarang ini telah mengalami clash.[11]
D. How Far Can You Go
Salah satu tantangan terbesar dari Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme adalah sebuah kelompok yang saya namakan ”preman berjubah”.[12] Kelompok preman berjubah adalah kelompok yang memakai atribut agama, meneriakkan kalam Tuhan sambil melakukan penyerangan, pengrusakan, pengusiran bahkan penjarahan terhadap kelompok Ahmadiyyah. Sampai hari ini, kelompok Ahmadiyyah masih tertindas dan merasa dinafikan eksistensinya dari bumi Indonesia. Kelompok inilah yang mendaku hakim kebenaran agama, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan simpatisanya yang melakukan tindak kekerasan terhadap Jama’ah Ahmadiyyah, Islam Jama’ah, dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Tak hanya kepada “kelompok sesat” dalam lingkungan Islam sendiri, mereka juga menutup secara sepihak puluhan gereja di Jawa Barat dengan alasan tak memiliki ijin resmi.
Betul-betul aneh. Aksi “merebut” wewenang aparat keamanan oleh kelompok kelaskaran yang sesungguhnya merupakan perbuatan kriminal ini tidak mendapatkan reaksi pencegahan dari kepolisian. Polri tidak saja melakukan pembiaran, bahkan dalam kasus penyerangan Jama`ah Ahmadiyah di Bogor, ditemukan indikasi kuat kepolisian justru memberikan fasilitas kepada kelompok penyerang. Bahkan ketika protes terhadap kekerasan ini meluas di masyarakat, tak kunjung ada tanda-tanda kepolisian menindak para pelaku. Lengkaplah penderitaan para “korban fatwa” MUI, sebab, negarapun tak mampu menjamin hak mereka atas rasa aman, alih-alih hak untuk bebas berkeyakinan.
Fenomena munculnya kelompok-kelompok pro-kekerasan berbaju agama merupakan ekses negative dari kecenderungan naiknya posisi Islam dalam kancah politik di Tanah Air. Sejak dekade 90-an, berbagai unsur Islam memperoleh peluang yang semakin luas dalam ruang-ruang Negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam panggung politik ini sering disebut “politik akomodasi Islam”. Manuver politik yang semula dimainkan rejim Orde Baru untuk menggaet dukungan massa Islam ini semakin menguat di masa-masa selanjutnya hingga era reformasi saat ini. Setidaknya ada empat pola akomodasi yang menonjol:
Pertama, “Akomodasi struktural” dengan direkrutnya para pemikir dan aktifis Islam untuk menduduki posisi-posisi penting dalam birokrasi Negara maupun badan-badan legislatif. Kedua, “Akomodasi infrastruktur”, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi kepentingan ummat Islam menjalankan kewajiban agama mereka, seperti pembangunan masjid-masjid yang disponsori oleh Negara. Ketiga “Akomodasi kultural”, yang berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah publik seperti, pemakaian jilbab, baju koko, hingga ucapan assalamu`alaikum. Ke-empat “Akomodasi legislatif”, yakni upaya memasukkan beberapa aspek hukum Islam menjadi hukum Negara, meskipun hanya berlaku bagi umat Islam saja[13]. Pada proses selanjutnya, cangkang politik yang akomodatif terhadap Islam ini diisi dan dimainkan oleh kelompok-kelompok dan aktor-aktor baru gerakan Islam yang memiliki akar ideologis dan gerakan yang ditransmisikan dari Timur Tengah. Mereka berciri puritanisme radikal yakni semangat berlebihan untuk mewujudkan kembali apa yang mereka citrakan sebagai Islam yang murni seperti yang ada pada masa Nabi, sahabat dan tabi`in (Islam Salaf). Ciri menonjol dari kelompok-kelompok baru ini adalah literalisme dalam memahami Ayat Suci, eksklusif dalam orientasi perjuangan dan intoleran dalam pola hidup bersama “yang lain” (the others).
Aura kebebasan yang muncul dari semangat reformasi memungkinkan kelompok semacam FPI, MMI dan ormas sejenis ini menyebarkan pemahamannya secara leluasa. NU dan Muhammadiyyah yang selama ini dicitrakan sebagai kampiun Islam moderat juga telah kemasukan virus radikalisme preman berjubah tersebut. Masjid-masjid yang dahulunya dijadikan sebagai simbol utama penguatan dan penyebaran tradisi Islam moderat di Indonesia telah “direbut” oleh kelompok radikal, dahulu kala mereka hanya menguasai masjid-masjid kampus melalui Lembaga Dakwah Kampus (LDK), terutama kampus-kampus umum, seperti UI, ITB (Masjid Salman) dan UGM (Masjid Shalahuddin). Sekarang masjid-masjid di pedesaan telah dimasuki oleh kelompok preman-preman berjubah tersebut. Akibatnya adalah iklim ekspresi keagamaan kaum sekitar masjid yang keras, kaku dan tidak toleran kepada yang lain (the others). Inilah tantangan yang dihadapi oleh Sekulerisme, Pluralisme dan liberalisme. How far can you go? Wallahu A’lam Bi Ashawaab.
*Aktivist Jarik (Jaringan Islam Kampus) Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
1. Charles D Smith, sekulerisme dalam John L Esposito, Encycopedi oxford dunia Islam modern, terj, Bandung, Mizan, 2001.
2. CA Van Peursen, Strategi Kebudayan, Cet Ke-1 Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 1976..
3. Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, Agustus 2001.
4. F. Budi Hardiman, Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme, makalah disampaikan pada Intermediate Training & Konferensi Nasional Jaringan Islam Kampus, depok 27 april s.d 2 mei 2007, Hal. 9.
5. Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, kristen dan Islam selama 4000 tahun, Bandung, Mizan, 2001.
6. Zuly Qodir, Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia: Kategori dan Karakteristik, Hal: I, paper di Milist, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah (JIMM)@yahoogroups.com.
7. Samuel P Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of world Order, Simon and Scot, 1996.
8. Suhadi “Fatwa MUI dan Premanisme Agama” dalam www.paras.com.
9. Sholahuddin, Ide Penerapan Syari’at Islam PKS pada Pemilu 1999 & 2004 serta Respon Non-Muslim dan Aktivist Gender (Studi Kasus PKS DIY), Thesis Pada Centre for Religious and Cross-Cultural Studies, Graduate School Program Gadjah Mada University.
[1] Salah satu tesis yang mendukung tentang Islam yang toleran dan harmonis adalah tesis yang diajukan oleh Azyumardi Azra tentang masuknya Islam ke Indonesia. Azyumardi Azra mengatkan bahwa Islam datang ke Indonesia dibawah oleh para saudagar dari Gujarat dengan jalan penetration pacifique (penetrasi damai).
[2] Sholahuddin, Ide Penerapan Syari’at Islam PKS pada Pemilu 1999 & 2004 serta Respon Non-Muslim dan Aktivist Gender (Studi Kasus PKS DIY), Thesis Pada Centre for Religious and Cross-Cultural Studies, Graduate School Program Gadjah Mada University, Hal: 80-81.
[3] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, Agustus 2001, hal: 4.
[4] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, kristen dan Islam selama 4000 tahun, Bandung, Mizan, 2001, hal: 446.
[5] Charles D Smith, sekulerisme dalam John L Esposito, Encycopedi oxford dunia Islam modern, terj, Bandung, Mizan, 2001 hal: 128-140.
[6] CA Van Peursen, Strategi Kebudayan, Cet Ke-1 Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 1976, terutama bab 2, 3 dan 4.
[7] F. Budi Hardiman, Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme, makalah disampaikan pada Intermediate Training & Konferensi Nasional Jaringan Islam Kampus, depok 27 april s.d 2 mei 2007, Hal. 9.
[9] Untuk lebih lanjut tentang ini bisa ditilik di website www.islamlib.com hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Munir Mulkhan.
[10] Zuly Qodir, Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia: Kategori dan Karakteristik, Hal: I, paper di Milist, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah (JIMM)@yahoogroups.com.
[11] Samuel P Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of world Order, Simon and Scot, 1996.
[12] Preman Berjubah, istilah ini kali pertama dipopulerkan oleh Syafi’I Ma’arif dalam sebuah tulisan Resonansi di harian Republika. Tulisan pak Syafi’i ini kemudian ditanggapi oleh Adian Husaini dan kawan-kawanya yang tersodok oleh terminologi ”Preman Berjubah”.
Filed under: Diskusi | Leave a comment »