sekularisme?

SEKULERISME, PLURALISME & LIBERALISME:

HOW FAR CAN YOU GO?

Oleh: Sholahuddin*

 

Pendahuluan

            Masyarakat kita sekarang ini telah dilanda sebuah fenomena yang saya namai dengan gerakan formalisasi Syari’ah atau arabisasi di ruang publik. Masyarakat Islam Indonesia yang diidentikkan dengan masyarakat yang toleran, harmonis, mempunyai solidaritas yang tinggi dan tidak terlalu memerdulikan formalisme Syari’ah sedang diuji dengan datangnya serangan dari gerakan formalisasi syari’ah, terutama formalisasi Syari’ah di ruang publik[1]. Serangan tersebut datang dari berbagai elemen sosial-masyarakat yang muncul bersamaan dengan gelombang reformasi pada tahun 1998, sebagian lagi mereka membonceng partai politik Islam yang mempunyai visi dan misi untuk memperjuangkan formalisasi Syari’ah di ruang publik (public sphere).

            Menurut hemat saya, tantangan terbesar kedepan bagi SPL (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme) adalah gerakan formalisasi Syari’ah Islam di rung publik (public sphere) ini. Terutama sekali dengan munculnya undang-undang desentralisasi daerah yang memberikan ruang penuh bagi daerah masing-masing untuk membuat Perda (peraturan daerah) yang unik, spesifik dan diterima masyarakat sekitar. Beberapa daerah di Jawa dan luar Jawa bahkan sudah memperdakan hal tersebut, sebagaimana yang ada pada perda Tangerang Nomor 8 tahun 2005 yang berisi tentang pelarangan, mencurigai pelacur yang berada ditempat umum, Perda Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang larangan perbuatan prostitusi dan asusila dan yang terakhir Perda yang ada di Bulukumba dengan sebuah pilot projectnya ”Desa Muslim”.

 Kemunculan perda-perda tersebut memberikan dampak lebih lanjut bagi ummat beragama yang lain, misalnya untuk merespon perda-perda Syari’at Islam tersebut di Manokwari telah dilakukan inisiasi perda injil. Disinilah kita melihat bagaimana telah terjadi kontradiksi antara spirit demokratisasi yang menginginkan keadilan, persamaan didepan hukum (equality before the law) dan juga ruang publik yang bebas (free public sphere) dengan perda-perda Syari’at Islam tersebut. Sebetulnya, gerakan formalisasi Syari’at Islam telah berumur lama, kalau kita menilik sejarah akan didapatkan fakta sejarah yang memberikan penjelasan mengenai perdebatan para anggota dewan konstituante tentang penghapusan tujuh kata ”dengan mewajibkan Syari’at Islam pada para pemeluknya”. Dewasa ini, gerakan formalisasi Islam mengambil tiga bentuk; kultural, struktural dan politik. Secara kultural para penganjur gerakan formalisasi Syari’ah memperkuat unit terkecil dalam sebuah struktur masyarakat, yaitu keluarga (usroh). Dalam sebuah survei singkat yang diadakan oleh penulis diketahui bahwa para aktivist dakwah dan juga anggota partai-partai penganjur Syari’at Islam mempunyai jumlah keluarga yang jumlahnya besar. Di Yogyakarta misalnya, ada seorang anggota DPRD tingkat dua dari PKS yang mempunyai anak 14 dengan tenggat waktu kira-kira 1 tahun antara satu anak dengan yang lainya[2]. Hal ini menggambarkan world view (pandangan hidup) yang selama ini mereka pakemi bahwa keluarga sebagai basis utama dalam proses Islamisasi mempunyai peranan penting, karena pentingnya keluarga tersebut maka secara kuantitas jumlah mereka juga harus diperbanyak untuk bisa memberikan kontribusi suara pada pemilihan umum.

            Secara politik dan struktural, para penganjur Formalisasi Syari’at Islam mendapatkan blessing in disguise (berkah tersembunyi) dari arus reformasi dan demokratisasi yang digulirkan oleh para mahasiswa dan aktivist gerakan pada tahun 1998. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pasca 1998 telah terjadi perubahan, yaitu adanya kebebasan berekspresi, berpendapat, berkumpul dan juga berserikat yang belum pernah terwujud pada zaman Orde Baru (orba) dengan Soeharto-nya. Kebebasan untuk membentuk partai politik dengan berbagai macam ideologi dan varian gerakanya serta adanya pers yang relatif cukup idependen menjadi pressure group (kelompok penekan) terhadap penguasa. Bagi kelompok ini, reformasi juga berarti kebebasan untuk mengaspirasikan Syari’at Islam.

            Tulisan ini akan mencoba mencari tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah issu Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme benar-benar akan menjadi obat mujarab (penecea) bagi kebangkitan Islam di Indonesia? Sedangkan kita mengetahui lembaga keagamaan laiknya MUI telah mengharamkan tiga issu tersebut. Tulisan ini akan mencoba memotret akar sejarah dari tiga issu Sekulerisme, Pluralisme & Liberalisme setelah itu baru akan melihat peta konstelasi pemikiran Islam di Indonesia dan akhirnya akan ditutup dengan membuat bagaimana tantangan yang akan dihadapi oleh tiga issu ”subversif” ini.

B. Akar Sejarah Pluralisme, Sekulerisme & Liberalisme

            Harus diakui bahwa tiga isu besar ini adalah isu yang dihasilkan dari pergulatan intelektual yang ada di Barat, Islam sama sekali tidak mempunyai sejarah pergulatan empirik dengan tiga isu besar ini. Adalah abad ke-15 dan ke-16 menjadi sebuah penggal sejarah yang sangat menentukan bagi bangsa Eropa (turning point age), khususnya bagi Kristen Barat. Pada abad ini telah mengalami apa yang penulis sebut dengan copernican revolusion yang ditandai dengan penemuan-penemuan ilmiah dalam bidang ilmu eksakta dan ilmu sosial.

Revolusi bertubi-tubi yang menghantam dataran Eropa tersebut telah melahirkan berbagai macam ragam paham sekuler, seperti Rasionalisme, Saintisme, Humanisme, kapitalisme dan lain sebagainya. Semua paham tersebut pada intinya bereaksi negatif terhadap dominasi theosentris abad pertengahan yang meletakkan Tuhan sebagai tolok ukur utama segala urusan duniawi. Pemberontakan Sekuler tersebut menggeser pemusatan segalanya pada Tuhan (theosentrisme) ke pemusatan pada manusia (antroposentrisme). Manusia mulai dipandang sebagai makhluk otonom, bebas, rasional, bernilai pada dirinya yang tanpa adanya intervensi Tuhan dapat mengurus segala macam urusan keduniawiaan.[3] Keberadaan Tuhan oleh beberapa filosof humanis melah dianggap mendehumanisasi manusia karena menafikan tumbuhnya potensi manusia secara leluasa. Manusia yang masih berlindung dibawah ketiak argumen-argumen teologis dan menolak merumuskan argumenya sendiri tentang segala sesuatu menurut mereka adalah balita yang masih perlu untuk didewasakan. Pencerahan sebagai sesuatu gerakan adalah berorientasi untuk meninggalkan masa teosentrisme.

Asosiasi antara kebertuhanan dan kekanak-kanakan manusia atau dehumanisasi menjadi tema sentral beberapa pemikir atheis pada abad 19, laiknya Feurbach, Freud dan Nitzche. Mereka bisa dibilang sebagai algojo-algojo berdarah sekuler yang mematikan Tuhan demi kedewasaan manusia atau realisasi semua potensi manusia secara sempurna. Pada abad itu sekulerisme dan ateisme benar-benar telah menjadi sebuah proyek utama. Kemajuan sains dan teknologi melahirkan semangat otonomi dan independensi baru yang mendorong sebagian orang untuk memaklumatkan kebebasan dari agama dan Tuhan. Para pemikir pencerahan Feurbach, Marx, Freud dan Nitzche berijtihad dengan tafsir ilmiah dan filosofis atas realitas tanpa menyisakan ruang bagi agama dan Tuhan. Bahkan mereka mengatakan bahwa sekiranya agama dan Tuhan belum mati, maka adalah tugas manusia yang teremansipasi untuk membunuhnya.[4]

Secara etimologis kata sekuler berasal dari bahasa latin seculum yang berarti masa atau generasi dalam waktu temporal[5]. Ada juga yang memaknai sekuler dengan dua makna yaitu konotasi ruang dan waktu; waktu menunjukkan sekarang atau kini dan ruang menunjukkan pengertian dunia atau duniawi. Jadi seculum berarti zaman ini atau masa kini yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa di dunia ini, dan itu juga berarti peristiwa masa kini.

Var Puersen[6] melacak istilah sekulerisme melalui tiga pemilahan kebudayaan dengan tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap mitis, yaitu tahap kebudayaan dimana manusia menghayati dunianya sebagai dunia yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan ghaib dan suci yang melampaui diri manusia, dan posisi manusia hanya akan berharga apabila dia mempunyai tempat pada jagad yang suci tersebut. Supaya manusia punya tempat, maka dia harus menselaraskan diri, tunduk kepada yang suci tadi. Tahap kedua adalah tahap ontologis, yaitu proses kebudayaan dimana manusia menghayati dunianya yang semakin dilepaskan dari kuasa yang sakral, pada tahap ini manusia melihat alam sebagai sesuatu yang harus diolah dan diteliti lewat ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge and science) untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Tahap ketiga adalah tahap fungsional, dimana manusia menghayati dunianya dengan berbagai pertanyaan: tentang fungsi penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk hidup manusia, baik individual maupun bersama, tentang fungsi yang ilahi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, orang menanyakan fungsi agama, hubungan manusia dengan yang ilahi, dan relevansinya dalam kehiudpan sehari-hari.

Dari pembagian diatas dapat ditarik kesimpulan adanya proses desakralisasi, yaitu semakin dibebaskanya dunia dari dominasi yang sakral. Selain itu juga ada proses demitologisasi yaitu semakin dibebaskanya manusia dari berbagai mitos yang sebelumnya menjadi penjelasan manusia yang rasional mengenai gejala alam dan sekaligus merupakan belenggu yang menghambat kesadaran rasional manusia.

Sedangkan Liberalisme adalah ideologi moderen par-excellence karena ia muncul bersamaan dengan modernisasi dan berbagai pertentangan ideologis dalam masyarakat. Kita bisa menjelaskan dari mana saja mengenai liberalisme, tetapi dalam hubunganya dengan pluralisme dan sekulerisme, kita harus memulainya dari suatu dimensi sosial, yang kemudian menentukan hubungan agama dan negara, yaitu pasar dan hak-hak milik pribadi. Minat liberalisme adalah kebebasan, dan kebebasan yang lebih spesifik disini adalah kebebasan individu. Dalam arti ini liberalisme sangat sensitif dengan kolektivisme dan absolutisme kekuasaan.[7]

Sedangkan Pluralisme mempunyai operasi didalam kebudayaan dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi nilai didalam masyarakat modern. Dasar dari pluralisme adalah the fact of plurality, yaitu suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi, maka masyarakat itu akan mengalami pluralisasi nilai didalam dirinya. Sekulerisasi adalah tahap pertama bagi adanya pluralisasi nilai tersebut. Karena sekarang bidang politik dan agama tidak menjadi satu entitas tetapi telah menjadi dua, langkah selanjutnya adalah bidang privat, yaitu masyarakat itu sendiri lewat liberalisasi berfikir dan nilai-nilai yang dipakeminya harus mengalami pluralisasi.[8]

C. Konstelasi Pemikiran Islam di Indonesia

Islam Indonesia, bahkan sampai desa akhirnya menjadi lahan kampanye agama yang hebat oleh kelompok Islam militan, sebab Desa sering dianggap sebagai basis abangan yang ber-Islamnya sedikit kurang autentik atau murni. Pemilahan Abdul Munir Mulkhan atas Islam di Desa Wuluhan sepuluh tahun yang lalu, memberikan gambar bahwa di desa ada varian-varian orang berIslam; yakni Muhammadiyah Ahmad Dahlan, Muhammadiyah Al-Ikhlas, Munu,  dan Marmud. Tesis Mulkhan saya kira bisa menjelaskan bahwa dalam desa karakteristik Islam itu bervariatif, dan diantara mereka bisa saling ketemu, tetapi sekaligus bisa saling bersitegang, tetapi mereka tetap satu desa[9].

Sekarang ini, fenomena ke-Islaman di desa sebenarnya masih variatif seperti yang dikemukakan Munir Mulkhan di atas, hanya saja belakangan muncul gerakan Islamisasi Indonesia, yang menghendaki pemurnian Islam di Indonesia dari tingkat desa sampai kampus-kampus, sehingga ceramah-ceramah ke-Islaman mengarah pada bagaimana agar penduduk desa yang muslim harus fasih dalam berbahasa arab, berdoa, mengaji, melafalkan kata-kata arab, sampai dengan wiridnya. Pendek kata masyarakat Islam Indonesia, sekarang menjadi ajang pertarungan kelompok Islam yang menghendaki puritanisme dalam beragama, karena desa disinyalir identik dengan banyak bid’ah, syirik, tahayul, dan serba tidak Islam lainnya[10].

Gejala Islam fobia pasca ancaman terorisme 11 september juga turut mendongkrak ’buruk’ citra Islam di mata dunia internasional. War against terrorism adalah slogan yang secara terus menerus digalakkan dan bahkan didanai oleh Amerika Serikat. Terorismepun menjadi perbincangan yang dihadirkan dan ”seksi”. Berbagai media mengulas dan menghadirkan artikel-srtikel yang mengulas seputar tema Islam dan terorisme. Dalam tingkat politik regional, negara-negara ASEAN didesak oleh USA untuk membincang terorisme dan membuat undang-undang tindak pidana terorisme. Terorisme bukanlah kasus yang mudah dimengerti per-definisi, dengan mengambil teori Samuel Huntington terorisme adalah bentuk ekpresi kulminatif bahwa laju perdaban dunia sekarang ini telah mengalami clash.[11]

D. How Far Can You Go

            Salah satu tantangan terbesar dari Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme adalah sebuah kelompok yang saya namakan ”preman berjubah”.[12] Kelompok preman berjubah adalah kelompok yang memakai atribut agama, meneriakkan kalam Tuhan sambil melakukan penyerangan, pengrusakan, pengusiran bahkan penjarahan terhadap kelompok Ahmadiyyah. Sampai hari ini, kelompok Ahmadiyyah masih tertindas dan merasa dinafikan eksistensinya dari bumi Indonesia. Kelompok inilah yang mendaku hakim kebenaran agama, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan simpatisanya yang melakukan tindak kekerasan terhadap Jama’ah Ahmadiyyah, Islam Jama’ah, dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Tak hanya kepada “kelompok sesat” dalam lingkungan Islam sendiri, mereka juga menutup secara sepihak puluhan gereja di Jawa Barat dengan alasan tak memiliki ijin resmi.

Betul-betul aneh. Aksi “merebut” wewenang aparat keamanan oleh kelompok kelaskaran  yang sesungguhnya merupakan perbuatan kriminal ini tidak mendapatkan reaksi pencegahan dari kepolisian. Polri tidak saja melakukan pembiaran, bahkan dalam kasus  penyerangan Jama`ah Ahmadiyah di Bogor, ditemukan indikasi kuat kepolisian justru memberikan fasilitas kepada kelompok penyerang. Bahkan ketika protes terhadap kekerasan ini meluas di masyarakat, tak kunjung ada tanda-tanda kepolisian menindak para pelaku. Lengkaplah penderitaan para “korban fatwa” MUI, sebab, negarapun tak mampu menjamin hak mereka atas rasa aman, alih-alih hak untuk bebas berkeyakinan.

Fenomena munculnya kelompok-kelompok pro-kekerasan berbaju agama merupakan ekses negative dari kecenderungan naiknya posisi Islam dalam kancah politik di Tanah Air. Sejak dekade 90-an, berbagai unsur Islam memperoleh peluang yang semakin luas dalam ruang-ruang Negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam panggung politik ini sering disebut “politik akomodasi Islam”. Manuver politik yang semula dimainkan rejim Orde Baru untuk menggaet dukungan massa Islam ini semakin menguat di masa-masa selanjutnya hingga era reformasi saat ini. Setidaknya ada empat pola akomodasi yang menonjol:

Pertama, Akomodasi struktural” dengan direkrutnya para pemikir dan aktifis Islam untuk menduduki posisi-posisi penting dalam birokrasi Negara maupun badan-badan legislatif. Kedua, “Akomodasi infrastruktur”, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi kepentingan ummat Islam menjalankan kewajiban agama mereka, seperti pembangunan masjid-masjid yang disponsori oleh Negara. Ketiga “Akomodasi kultural”, yang berupa diterimanya ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah publik seperti, pemakaian jilbab, baju koko, hingga ucapan assalamu`alaikum. Ke-empat “Akomodasi legislatif”, yakni upaya memasukkan beberapa aspek hukum Islam menjadi hukum Negara, meskipun hanya berlaku bagi umat Islam saja[13]. Pada proses selanjutnya, cangkang politik yang akomodatif terhadap Islam ini diisi dan dimainkan oleh kelompok-kelompok dan aktor-aktor baru gerakan Islam yang memiliki akar ideologis dan gerakan yang ditransmisikan dari Timur Tengah. Mereka berciri puritanisme radikal yakni semangat berlebihan untuk mewujudkan kembali apa yang mereka citrakan sebagai Islam yang murni seperti yang ada pada masa Nabi, sahabat dan tabi`in (Islam Salaf). Ciri menonjol dari kelompok-kelompok baru ini adalah literalisme dalam memahami Ayat Suci, eksklusif dalam orientasi perjuangan dan intoleran dalam pola hidup bersama “yang lain” (the others).

Aura kebebasan yang muncul dari semangat reformasi memungkinkan kelompok semacam FPI, MMI dan ormas sejenis ini menyebarkan pemahamannya secara leluasa. NU dan Muhammadiyyah yang selama ini dicitrakan sebagai kampiun Islam moderat juga telah kemasukan virus radikalisme preman berjubah tersebut. Masjid-masjid yang dahulunya dijadikan sebagai simbol utama penguatan dan penyebaran tradisi Islam moderat di Indonesia telah “direbut” oleh kelompok radikal, dahulu kala mereka hanya menguasai masjid-masjid kampus melalui Lembaga Dakwah Kampus (LDK), terutama kampus-kampus umum, seperti UI, ITB (Masjid Salman) dan UGM (Masjid Shalahuddin). Sekarang masjid-masjid di pedesaan telah dimasuki oleh kelompok preman-preman berjubah tersebut. Akibatnya adalah iklim ekspresi keagamaan kaum sekitar masjid yang keras, kaku dan tidak toleran kepada yang lain (the others). Inilah tantangan yang dihadapi oleh Sekulerisme, Pluralisme dan liberalisme. How far can you go? Wallahu A’lam Bi Ashawaab.  

 

*Aktivist Jarik (Jaringan Islam Kampus) Yogyakarta.

 

DAFTAR PUSTAKA

1.       Charles D Smith, sekulerisme dalam John L Esposito, Encycopedi oxford dunia Islam modern, terj, Bandung, Mizan, 2001. 

2.       CA Van Peursen, Strategi Kebudayan, Cet Ke-1 Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 1976..

3.       Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, Agustus 2001. 

4.       F. Budi Hardiman, Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme, makalah disampaikan pada Intermediate Training & Konferensi Nasional Jaringan Islam Kampus, depok 27 april s.d 2 mei 2007, Hal. 9.

5.       Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, kristen dan Islam selama 4000 tahun, Bandung, Mizan, 2001. 

6.       Zuly Qodir, Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia: Kategori dan Karakteristik, Hal: I, paper di Milist, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah (JIMM)@yahoogroups.com.

7.       Samuel P Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of world Order, Simon and Scot, 1996.

8.       Suhadi “Fatwa MUI dan Premanisme Agama” dalam www.paras.com.

9.       Sholahuddin, Ide Penerapan Syari’at Islam PKS pada Pemilu 1999 & 2004 serta Respon Non-Muslim dan Aktivist Gender  (Studi Kasus PKS DIY), Thesis Pada Centre for Religious and Cross-Cultural Studies, Graduate School Program Gadjah Mada University.

 


[1] Salah satu tesis yang mendukung tentang Islam yang toleran dan harmonis adalah tesis yang diajukan oleh Azyumardi Azra tentang masuknya Islam ke Indonesia. Azyumardi Azra mengatkan bahwa Islam datang ke Indonesia dibawah oleh para saudagar dari Gujarat dengan jalan penetration pacifique (penetrasi damai). 

[2] Sholahuddin, Ide Penerapan Syari’at Islam PKS pada Pemilu 1999 & 2004 serta Respon Non-Muslim dan Aktivist Gender  (Studi Kasus PKS DIY), Thesis Pada Centre for Religious and Cross-Cultural Studies, Graduate School Program Gadjah Mada University, Hal: 80-81.

[3] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, Agustus 2001, hal: 4.

[4] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, kristen dan Islam selama 4000 tahun, Bandung, Mizan, 2001, hal: 446.

[5] Charles D Smith, sekulerisme dalam John L Esposito, Encycopedi oxford dunia Islam modern, terj, Bandung, Mizan, 2001 hal: 128-140. 

[6] CA Van Peursen, Strategi Kebudayan, Cet Ke-1 Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 1976, terutama bab 2, 3 dan 4.

[7] F. Budi Hardiman, Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme, makalah disampaikan pada Intermediate Training & Konferensi Nasional Jaringan Islam Kampus, depok 27 april s.d 2 mei 2007, Hal. 9.

[8] Budi Hardiman, Opcit, hal: 10-11.

[9] Untuk lebih lanjut tentang ini bisa ditilik di website www.islamlib.com hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Munir Mulkhan.

[10] Zuly Qodir, Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia: Kategori dan Karakteristik, Hal: I, paper di Milist, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah (JIMM)@yahoogroups.com.

[11] Samuel P Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of world Order, Simon and Scot, 1996.

[12] Preman Berjubah, istilah ini kali pertama dipopulerkan oleh Syafi’I Ma’arif dalam sebuah tulisan Resonansi di harian Republika. Tulisan pak Syafi’i ini kemudian ditanggapi oleh Adian Husaini dan kawan-kawanya yang tersodok oleh terminologi ”Preman Berjubah”.

[13] Lihat tulisan Suhadi “Fatwa MUI dan Premanisme Agama” dalam www.paras.com.

etno-Jogja


ANALISIS ETNO-RELIGIUS PERGERAKAN ISLAM DI YOGYAKARTA

Oleh: Sholahuddin*

Pendahuluan

          Yogyakarta menyandang berbagai predikat, sebagai kota budaya, kota pelajar, dan yang terbaru adalah the city of tolerance. Yogyakarta dengan berbagai warna-warni etnis, agama, budaya dan ideologi merupakan tempat meeting pot (campur aduk) yang indah. Sebagai kota budaya di Yogyakarta ditemukan berbagai macam situs pariwisata, Keraton, Alun-alun kidul, Malioboro, makam para raja di Imogiri, Kaliurang, Parangtritis dan lain sebagainya. Situs-situs ini merupakan aset berharga bagi Yogyakarta yang setipa tahunya mampu menyedot wisatawan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Predikat kota pelajar di Yogyakarta dibuktikan banyaknya perguruan tinggi dan universitas yang bertebaran di hampir setiap sudut Yogyakarta, UGM, ISI, UIN, UNY, UMY, UAD untuk menyebutkan beberapa saja.

          Yogyakarta yang baru saja mendeklarasikan dirinya sebagai the city of tolerance menjadi miniatur kerukunan hidup antar ummat beragama. Di Yogyakarta sendiri telah tumbuh dan berkembang berbagai agama dan kepercayaan. Dan selama puluhan tahun ikatan solidaritas antar oemeluk ummat beragama di Yogyakarta terjalin dengan baik dan tidak ditemukanya konflik berdarah-darah antar ummat beragama. Fenomena seperti ini berbeda dengan apa yang terjadi di kota Solo. Kota Solo terkenal dengan sebutan ”kota Sumbu Pendek” yang sangat rawan sekali terhadap berbagai konflik komunal, etnis, terutama sekali konflik antar ummat beragama.[1]

Di Yogyakarta juga ditemukan banyak gerakan, dari yang kiri paling ujung sampai pada ujung kanan. Ada yang mendasarkan dirinya pada ideologi Islam, sekuler, humanisme dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan tersebut saling berkontestasi dan berkompetisi sehingga menambah warna-warni pergerakan di tanah air. Salah satu hal yang patut untuk disoroti dalam oonteks pergerakan diatas adalah fenomena kembalinya gerakan Islam yang berbasis di masjid-masjid kampus untuk mengusung perda Syari’at Islam ke DPRD Tingkat 1 Yogyakarta. Tulisan ini berusaha untuk memotret bagaimana mapping gerakan-gerakan Islam tersebut serta berusaha memprediksikan bagaimana kedepanya.

B. Mapping Gerakan Islam di Yogyakarta

          Disamping dua organisasi sosial kegamaan mainstream, Muhammadiyyah dan NU, di Yogyakarta juga ditemukan berbagai gerakan Islam yang lainya. Gerakan Islam usrah yang terpusat di masjid-masjid kampus UGM, UNY dan juga gerakan Islam kelaskaran di Jalan Kaliurang seperti FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad Ahlussunnah Wal Jama’ah, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Salafiyyah dan lain-lain. Kelompok-kelompok Islam ini adalah kelompok Islam pro-Syari’at, yang senantiasa mengajukan sistem Islam sebagai alternatif atas berbagai sistem sekuler dan umum yang telah diterapkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

          Kelompok kelompok Islam Pro Syari’at yang tergabung dalam FUI (Forum Ummat Islam) pada 7 September 2006 pergi ke DPRD tingkat 1 propinsi DIY untuk mengusung gagasanya. FUI Yogyakarta terdiri dari 30 elemen, ada dua elemen besar yaitu Muhammadiyyah dan NU[2], dan yan lainya misalnya adalah FPI, MMI, HTI, KAMMI, ada juga semacam forum-forum silaturrahmi (masjid, pelajar Muslim, dll). Untuk kasus Perda ini yang kencang & kuat adalah MMI & HTI. Dari waktu ke waktu atau dari kasus ke kasus terdapat naik turun semangat elemen-elemen tersebut didalam mengusung isu ‘kepentingan’ umat Muslim. ketika mengusung isu perda kos-kosan/pemondokan yg gol di tingkat Kodya Yogya Dulu elemen yg sangat kuat & keras adalah KAMMI & PKS.

          Untuk kasus Perda Jilbab ini yang kencang adalah MMI & HTI. Sementara FPI lebih lunak –meskipun biasanya lebih keras– karena kondisi internal mereka dimana di Yogya sedang terpecah, kubu habib dan kubu baru di  jalan Wates. FUI datang ke DPRD 1 tingkat propinsi Yogyakarta untuk beraudiensi dengan anggota dewan. Karena menurut mereka lebih baik beraudiensi dari pada berdemonstrasi di jalanan. Sebetulnya usulan perda Jilbab dari FUI (Forum Ummat Islam) Yogyakarta ini hanya gagasan untuk memperluas coverage beberapa aturan tentang kos-kosan, pekat, miras yang selama ini telah disyahkan ditingkat propinsi. Dan sekarang ini mereka mengaspirasikan tentang peraturan baru jilbab bagi pelajar dan pegawai pemerintah.

Mengapa FUI (Forum Ummat Islam) memilih jilbab, ada 2 alasan yang dijadikan sebagai landasan FUI. Pertama, Menurut mereka karena moralitas dan akhlaq sudah sampai pada tingkat parah di Yogyakarta, terutama banyaknya free sex dan pacaran muda-mudi Yogyakarta yang dalam konteks ini mempengaruhi image dan citra Yogyakarta. Kedua hal itu membuat para orang tua siswa-siswi tersebut untuk tidak menyekolahkan anaknya di Yogyakarta. Meskipun ada image bahwa sekolah semakin mahal di Yogyakarta, tetapi hal ini tidak diusung oleh FUI.

Gerakan Islam pro-Syari’at ini mempunyai hubungan dengan gerakan partai politik yang mendukung ide penerapan syari’at Islam. Salah satu partai politik yang mempunyai visi penerapan Syari’at Islam tersebut adalah PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Menurut Ali Said Damanik PKS merupakan partai tarbiyyah yang berkembang dikelas menengah terdidik perkotaan, khususnya dikampus-kampus umum. Mereka adalah anggota usrah dan khalaqah yang begitu subur dimasjid-masjid kampus sekuler, laiknya Jama’ah Shalahuddin di masjid kampus UGM[3].

Sebagai partai politik PKS merupakan ekspresi dari gerakan anak-anak tarbiyyah ini, tetapi tidak semua gerakan tarbiyyah memberikan dukungan terhadap eksistensi PKS, kebanyakan yang mengaspirasikan suaranya ke PKS adalah para aktivist LDK (Lembaga Dakwah Kampus), Masjid Kampus dan Ikhwanul Muslimiin. Di masa orde baru, Soeharto telah melakukan marginalisasi politik Islam dengan melakukan unifikasi ormas-ormas Islam, laiknya NU, Muhammadiyyah, Persis, Masyumi dan lain-lain kedalam PPP, oleh karena itu dapat kita ketahui wacana tentang ideologi politik Islam relatif sepi, dalam konteks orde baru ini, Islamic political right (gerkan politik Islam Kanan) lebih memilih jalur dalam bentuk khalaqah, forum-forum studi di masjid kampus. Kelompok ini kemudian memfokuskan kajianya pada kajian keagamaan (Islam), aqidah, Syari’ah, akhlaq dan lain sebagainya.

Di Yogyakarta, hal tersebut diramaikan dengan bermunculanya berbagai organisasi kelaskaran yang menjadikan friksi antara organisasi kanan menjadi menajam. Penajaman friksi tersebut termanifestasikan diantaranya dengan ketidaksatuan suara mereka dalam merespon persoalan-persoalan ummat Islam kala itu, misalnya tentang Jihad di Ambon, pelatihan kelaskaran yang begitu milisteristik dan lain sebagainya. Untungnya di Yogyakarta terdapat kelompok yang bisa menjadi penyeimbang dengan kelompok-kelompok yang mengorientasikan tujuanya pada pelaksanaan Syari’ah Islam dalam ruang publik (Public Sphere). Menurut Zuly Qodir dalam tulisanya yang berjudul Pemikiran dan gerakan Islam Indonesia Kontemporer: Kategori dan Karateristik  menyebutkan konstalasi peta pergerakan Islam di Yogyakarta[4] sebagaimana berikut ini:

Gerakan Islam

Karakteristik

Cita-Cita

Aktor

Jamaah

Gerakan

Ekstrem

1.      Menolak Pluralisme

2.      Berpegang pada letterlijk teks

3.      bulat tanpa kompromi

4.      tanpa pelunakan, interpretasi dan pengurangan (Ernest Gellner, 1992: 177)

5.      oposisionalisme, perlawanan terhadap paham lain yang dianggap bertentangan dengan kitab suci, baik modernisme, postmodernisme, sekularisasi, nilai Barat atau lainnya yang dalam Islam rujukannya adalah Quran dan hadits.

6.      Menolak hermeneutika. Tidak perlu melakukan interpretasi dan enggan bersikap kritis terhadap teks. Teks harus dipahami secara letterlijk, rasio tidak boleh melakukan kompromi atas ayat-ayat

7.      menolak pluralisme dan relativisme. Pluralisme diangap sebagai akibat pemahaman teks secara salah dan relativisme muncul akibat intervensi nalar manusia dan perkembangan masyarakat

8.      menolak perkembangan histories dan sosiologis (Martin F Marty 1992:: 110-112)

1.      Kembali pada zaman salaf

2.      Penegakan syariah Islam, perda syariah

3.      Khilafah Islamiyah

4.      Partai Islam

5.      Sistem Ekonomi Islam

6.      Islam yang murni

7.      Islam yang tunggal

1.      Sebagian orang Muhammadiyah

2.      Sebagian orang NU

3.      Ismail Yusanto

4.      Habib Rizieq

5.      Abu Bakar Baasyir

6.      Adian Husaini

7.      Ja’far Umar Thalib

1.      Pengikut Muhammadiyah

2.      Pengikut NU

3.      Hizbut Tahrir Indonesia

4.      Front Pembela Islam

5.      Front Pemuda Islam Surakarta

6.      Dewan Masjid Indonesia

7.      DDII

8.      MMI

9.      KISDI

10.   Laskar Jundullah

11.  FKAW (Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal-jama’ah)

12.   Teologis: kembali kepada zaman yang diidealkan, ada yang mengatakan zaman salafi, puritanisme (pemurnian dalam arti lebih dekat dengan zaman kenabian, sekalipun belakangan lebih kentara adalah tradisi Arabisasi

13.   Politik: kaum fundamentalis- ekstrem menolak segala bentuk struktur politik modern seperti demokrasi, pluralisme partai politik, sehingga menghendaki adanya khilafah Islamiyah dan penegakan syariah Islam

14.   Ekonomi : menghendaki struktur dan system ekonomi syariah (agama), bukan ekonomi modern, sebab system ekonomi  modern hanya menimbulkan liberalisme, kapitalisme yang tidak adil pada masyarakat Islam khususnya;

15.   Budaya : budaya yang ditawarkan adalah budaya Islam atau lebih dekat dengan budaya Arab namun dipahami seakan-akan sebagai budaya Islam

16.  

Moderat

Karakteristik

Cita-cita

Actor

Jamaah

Gerakan

 

1.      menerima hermeneutika, sehingga ada pluiralisme pemahaman

2.      Kritis atas teks dan pemahaman kitab suci agama-agama

3.      Menerima modernisasi, sekularisasi dan liberalisme agama

4.      Kontekstual dalam memahami teks agama

5.      Menerima relativisme pemahaman

6.      Mengakui pluralisme agama

1.      Islam Warna-warni

2.      Islam sebagai etika

3.      Menghadirkan keimanan dalam dunia modern

4.      Menolak teokrasi

5.      Menjunjung kesetaraan jender

6.      Merayakan Pluralisme agama (merayakan keragaman)

1.      Intelektual Islam NU dan Muhammadiyah

2.      Aktivis LSM

3.      Feminist Muslim

4.      Aktivis interfaith

1.      UIN,

2.      Paramadina

3.      LKIS

4.      Rahima

5.      Fahmina

6.      ICIP

7.      ICRP

8.      P3M

9.      IPI

10.   PSW UIN

11.   PSAP

12.   Al-Maun

13.   LSAF

14.   JARIK

15.   LAKPESDAM

16.   JIMM

1.      Teologi: pluralis-inklusif dan dialogis yang kritis atas ajaran teks agama, agama sebagai kritik sosial

2.      Politik: demokratisasi sebagai pijakan untuk masyarakat bernegara (teologi secular untuk Negara sekulare)

3.      Ekonomi: keadilan ekonomi untuk semua warga Negara (keadilan distribusi)

4.      Budaya : menolak arabisasi, menghadirkan Islam keindonesiaan

 

C. Kontestasi atau Konvergensi ?

          Setelah melihat bagaimana peta (mapping) pergerakan Islam sebagaimana diatas pada bagian ini akan dilihat bagaimana kontestasi & kompetisi pergerakan Islam di Yogyakarta. Kontestasi untuk memperebutkan citra dan pengikut warga-kota Yogyakarta. Sebetulnya bisa dikatakan bahwa pergerakan Islam di Yogyakarta antara yang pro-Syari’ah dan kontra-Syari’ah berimbang, atau bahkan kalangan yang menentang/kontra terhadap Syari’ah lebih besar dari pada yang pro-Syari’ah. Elemen-elemen Kontra Syari’ah tersebar dan bermarkas terutama di Universitas Islam Sunan kalijaga (UIN) dan juga diberbagai kelompok diskusi, lingkar studi, LSM, NGO, dunia pergerakan dan lain sebagainya. Di UIN Sunan Kalijaga, ada lembaga yang dinamakan Arena yang demikian aktif mengkampanyekan demokrasi, kebebasan berpendapat dan berserikat, HAM dan perlakuan yang sama didepan hukum (equality before the law). Mereka aktif menerbitkan majalah dan jurnal ilmiah tentang tema-tema diatas, jurnal ”arena” adalah satu dari sedikit jurnal pretisius di kalangan civitas akademika Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Dalam konteks pengembangan wacana yang menolak Syari’at Islam, satu LSM yang menjadi corong adalah LKIS yang dibidani oleh cendekiawan muda NU ”Kultural”, untuk menyebut diantara mereka adalah Jadul Maula, Hairus Salim Hs, Farid Wajdi, Nuruddin Amin, Suhadi dan Ahmad Fikri. Dari tahun ke tahun, LKIS mengalami perkembangan yang demikian pesat, dan sekarang kita bisa melihat LKIS telah menjadi PT (Perseroan Terbatas) yang menerbitkan buku-buku keislaman, pesantren dan yang lebih penting lagi menggali khazanah tradisionalitas mereka.

Di sisi yang lain bisa juga dilihat bagaimana gegap gempita pergerakan anak-anak muda Muhammadiyyah di Yogyakarta yang dengan konsisten menyuarakan kebebasan berpendapat dan berserikat, demokrasi, pluralisme. Mereka tergabung dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah), untuk menyebutkan beberapa dedengkot JIMM adalah Zuly Qodir, Budi Ashari, Andar, Fadjar Rizaul Haq dan lain sebagainya. JIMM terbukti telah melahirkan lompatan-lompatan pemikiran yang begitu besar di Muhammadiyyah, sehingga pada muktamar Muhammadiyyah di Malang ada gerakan-gerakan sistematis untuk menggususr JIMM dari persyarikatan Muhammadiyyah.

Dua contoh diatas, LKIS dan JIMM,  hanyalah merupakan eksemplar gerakan Islam yang kontra-Syari’at, masih banyak lagi gerakan-gerakan kontra Syari’at yang terpusat di hampir sudut kota Yogyakarta. gerakan-gerakan tersebut masih belum tertata dengan rapi menjadi sebuah barisaan yang siap ”tempur”. Sedangkan disisi lain, kita bisa melihat bagaimana gerakan-gerakan Islam Pro Syari’at yang secara kuantitas memiliki massa sedikit, tetapi karena mereka mempunyai disiplin, ghirah dan telah terbentuk barisan yang kuat dengan mudah mereka bisa menguasai berbagai masjid dan merebut masjid-masjid yang dahulunya dikuasai oleh takmir masjid NU maupun Muhammadiyyah. Ini salah satu indikator bagaimana laju penetrasi gerakan Islam pro-syari’ah yang telah mebuahkan hasil.

Fenomena perebutan masjid tersebut mendorong ketua PBNU Masdar Farid Mas’udi membuat sebuah buku yang diberi judul ”memakmurkan masjid nahdliyiin untuk ummat dan bangsa”. Buku ini bisa dibilang unik, karena dwilingual, bahasa Indonesia dan juga bahasa Arab. Pada intinya buku ini ingin memberikan pendasaran (foundational) dan parameter tentang masjid nahdliyyin, bagaimana definisi, pendanaan, pemakmuran, hak dan kwajiban jama’ah masjid dan lain sebagainya.[5]

Sedikit perlu penulis cuplikkan bagaimana identifikasi yang dibuat oleh Masdar Farid Mas’udi tentang masjid Nahdliyyin: Secara simbolik Syi’ar masjid nahdliyyin antara lain berupa ’bedug” atau logo NU (gambar jagat) di dinding atau dalam lembaran jadwal waktu shalat. Setelah itu sesudah kumandang adzan dan sebelum sholat, ada puji-pujian kepada Allah SWT, atau sholawat kepada kanjeng rasulullah dan juga nasihat-nasihat kebajikan kepada sesama muslim. Sesudah shalat, membaca wirid dan do’a bersama yang diimpin oleh imam, dihangatkan dengan salam-salaman dan bacaan salawat[6].

Dari cuplikan diatas dapat diketahui bagaimana Masdar Farid Mas’udi melakukan identifikasi jama’ah NU atas jama’ah-jama’ah yang lainya. Adalah kewajaran biasa apabila Masdar melakukan hal tersebut, karena tujuanya adalah untuk melindungi jama’ahnya. Kontestasi pergerakan Islam di Yogyakarta sebetulnya masih banyak lagi dan bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa, kompetisi dan kontestasi antara Islam puritan yang letterlijk dalam memahami teks dan islam kontsktual yang lebih lentur dalam menafsirkan teks. Wallahu A’lam Bi Ashawaab.

 

* Sholahuddin, Aktivist Jaringan Islam Kampus (JARIK) Yogyakarta.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.       Ahmad Norma Permata, Cultural Space in Religious Life, Moslem and Christian in Solo Central Java. Paper riset dipresentasikan dalam European Social Science Java Network, Percik Salatiga dan CRCS Yogyakarta, 12-15 Januari 2005, hal: 2. 

2.     Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan tarbiyyah di Indonesia, cetakan 1 September, 2003, Teraju, Bandung, Hal: 14.

3.     Zuly Qodir, Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia: Kategori dan Karakteristik, Hal: I, paper di Milist, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah (JIMM)@yahoogroups.com.

4.     K.H Masdar Farid Mas’udi, Memakmurkan Masjid Nahdliyyin untuk Ummat dan Bangsa, Cet. III, Desember 2006, tidak diperjualbelikan dan hanya untuk kalangan sendiri, Hal: 23.


[1] Ahmad Norma Permata, Cultural Space in Religious Life, Moslem and Christian in Solo Central Java. Paper riset dipresentasikan dalam European Social Science Java Network, Percik Salatiga dan CRCS Yogyakarta, 12-15 Januari 2005, hal: 2. 

[2] Anggota NU atau Muhammadiyyah yang tergabung dalam forum ini adalah barisan yang tidak mempunyai kekuasaan yang signifikant dalam menjalankan roda organisasi baik di  NU maupun Muhammadiyyah.

[3] Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan tarbiyyah di Indonesia, cetakan 1 September, 2003, Teraju, Bandung, Hal: 14.

[4] Zuly Qodir, Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia: Kategori dan Karakteristik, Hal: I, paper di Milist, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyyah (JIMM)@yahoogroups.com.

[5] K.H Masdar Farid Mas’udi, Memakmurkan Masjid Nahdliyyin untuk Ummat dan Bangsa, Cet. III, Desember 2006, tidak diperjualbelikan dan hanya untuk kalangan sendiri, Hal: 23.
[6] K.H Msdar Farid Mas’udi, Ibid, Hal. 10-11.

bagaimana kita?

Doa dan Keprihatinan untuk Slamet

 

Rabu kemarin (16/1) lagi-lagi ada berita yang menyayat hati kita semua. Slamet seorang pedagang gorengan di Pasar Badak Pandeglang Banten terpaksa mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Ia tak tahan dengan tekanan hajat hidup yang semakin berat. Sebagai pedagang kecil pendapatannya terus menurun, sementara minyak tanah semakin sulit didapat dan harganya terus naik. Ditambah melonjaknya harga bahan-bahan pokok dagangannya: tempe, tepung terigu, tepung tapioka, sayuran dan minyak goreng.

 

Slamet adalah satu dari ribuan pedagang makanan yang terkena dampak dari buruknya pemerintah mengatur negeri ini. Tidak pernah jelas sampai sekarang bagaimana program pemerintah membantu masyarakat miskin. Yang ada justru setiap kebijakan pemerintah semakin membuat masyarakat miskin susah.

Manakala seluruh doa dan perhatian di negeri ini dipusatkan ke Soeharto, nasib Slamet semakin terpinggirkan, dan mungkin akan terlupakan. Peristiwa Slamet ini mengetuk hati kita, dan menggugah nurani bahwa hari demi hari masa depan rakyat kecil semakin tak pasti di negeri ini. Slamet adalah tumbal dari pembiaran dan ketidakpedulian, serta kesewenang-wenangan Pemerintah yang terus menerus berlangsung.

 

Untuk itu kami, Komunitas Utan Kayu, mengundang anda mengadakan doa dan keprihatinan untuk almarhum Slamet. Acara akan diadakan di Komunitas Utan Kayu, Jl Utan Kayu No 68H, Jakarta, Kamis 17 Januari 2008, pukul 19.00-selesai.

 

Acara akan diisi doa dan pencerahan oleh Musdah Mulia (ICRP, Islam), Bikhu Bhadravidya (Majelis Buddhayana Indonesia), Gomar Gultom (PGI), KH Wahid Maryanto (Pengasuh Pesantren), Benny Susetyo (KWI), Abd Moqsith Ghazali (Wahid Institute), Albertus Patty (GKI), Martin Sinaga (STT), Neng Dara Affiah (Fatayat-NU) , Zafrullah Pontoh (JAI), dan tokoh-tokoh agama lainnya, yang kemudian ditutup dengan orasi keprihatinan oleh Goenawan Mohamad.

Mohamad Guntur Romli
Jl Utan Kayu No 68H, Jakarta
mohamad@guntur. name
http://guntur. name/

News of Religious Freedom

Rabu, 16 Jan 2008,
Aliran Ahmadiyah Boleh Jalan Terus

JAKARTA-Berbagai tindak kekerasan terhadap warga Jamaah Ahmadiyah di tanah air tak boleh terjadi lagi. Hasil rapat Badan Koordinasi Pengkaji Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) tingkat pusat kemarin menyatakan tidak ada pelarangan terhadap pengembangan aliran tersebut.

“Sampai sekarang tidak dilarang,” jelas Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intelijen) Wisnu Subroto usai rapat Bakor Pakem di Gedung Kejagung, kemarin.

Rapat Bakor Pakem membahas aliran Ahmadiyah itu dihadiri sejumlah perwakilan, antara lain, Departemen Agama (Depag), Kejagung, Mabes Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), Depdagri, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Menurut Wisnu Subroto, ada lima poin hasil Bakor Pakem. Pertama, Bakor Pakem telah membaca dan memahami isi 12 butir penjelasan Pengurus Besar (PB) Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang disampaikan dan diteken amirnya, Abdul Basit, serta diketahui pejabat Depag dan sejumlah tokoh.

Kedua, Bakor Pakem telah membahas 12 butir penjelasan PB JAI tersebut, serta memberi waktu kepada pengikut Ahmadiyah untuk melaksanakannya secara konsisten dan bertanggung jawab.

Ketiga, Bakor Pakem terus memantau dan mengevaluiasi pelaksanaan isi 12 butir penjelasan PB JAI di seluruh Indonesia . Keempat, apabila terdapat ketidaksesuaian dalam pelaksanaannya, Bakor Pakem mempertimbangkan penyelesaian lain sesuai ketentuan berlaku.

Kelima, Bakor Pakem menghimbau semua pihak dapat memahami maksud dan niat baik PB JAI sebagai bagian membangun kerukunan umat beragama sekaligus menghindari aksi anarkis.

Wisnu menegaskan, dengan hasil Bakor Pakem tersebut, maka tidak ada pelarangan pengembangan aliran Ahmadiyah. Sebab, dari paparan tujuh kali dialog yang dilaksanakan Depag dan Ahmadiyah, tidak ditemukan keyakinan yang bertentangan dengan Islam.

Kejagung juga tidak menemukan indikasi penodaan agama sebagaimana yang dituduhkan sejumlah kelompok. “Tidak ada yang melanggar, termasuk saat dibandingkan dengan ciri-ciri aliran sesat yang dikeluarkan MUI,” tegas mantan kepala Kejati Kaltim ini.

Wisnu menambahkan, selaku ormas keagamaan, Ahmadiyah juga telah mendaftarkan diri ke Depdagri sejak 1953. Dengan fakta tersebut, praktis Ahmadiyah selama ini telah dikembangkan dan diterima dengan baik oleh berbagai lapisan masyarakat.( agm/naz)