Kolom Nurcholish Madjid

Sabtu, 17 Mei 2003

Investasi Etika dan Moral

KEARIFAN Prancis menyatakan ”sejarah mengulangi dirinya sendiri” (histotre se-repete). Dan, kearifan selanjutnya menyatakan sejarah yang buruk akan tercegah dari kemungkinan berulang, jika orang mau mengambil pelajaran dari deretan pengalaman masa lampau itu, khususnya pengalaman masyarakat dan bangsanya sendiri.

Continue reading

bubarkan Bakor PAKEM

Selasa, 22 Januari 2008 | 16:57 WIB
Soeripto: PAKEM Belum Fungsional

JAKARTA, SELASA-Wakil Ketua Komisi III DPR, Soeripto mengatakan keberadaan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor-Pakem) yang berada di bawah naungan Kejaksaan Agung, belum fungsional. Seharusnya, kata dia, Pakem dapat menjalankan fungsinya yaitu melakukan pembinaan terhadap kelompok-kelompok aliran kepercayaan yang ada di masyarakat.

Continue reading

kabar kebebasan

Selasa, 8 Januari 2008 | 18:56 WIB

AKKBB Himbau Pemerintah Lindungi Kebebasan BeragamaJAKARTA, KCM – Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB)  menghimbau aparatur negara (pemerintah) bersikap tegas dalam melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin konstitusi. AKKBB berpendapat percuma apabila masyarakat membela atau menyalahkan suatu kepercayaan dalam kaitan menyikapi masalah kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan.

“Kami ingin mengingatkan bahwa kebebasan berkeyakinan adalah hak yang paling asasi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan sama sekali bukan pemberian negara atau kelompok,” ujar General Secretary Indonesian Conference on Religion and Peace, Johannes N Hariyanto dalam acara diskusi antar pemuka agama di kantor pusat pengurus PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (8/1). Selain itu, lanjutnya, AKKBB juga ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa negara berkewajiban melindungi keamanan dan keselamatan jiwa serta harta benda setiap warga negara tanpa ada diskriminasi.

AKKBB juga mengaku prihatin menyaksikan berbagai tindakan kekerasan terhadap beberapa kalangan dari kelompok agama minoritas. Namun, pemuka agama Katholik yang juga anggota AKKBB menambahkan agar semua agama tidak menganggap dirinya sebagai kelompok minoritas ataupun mayoritas. “Sebab minoritas dan mayoritas adanya cuma di dunia politik, semua agama itu ‘kan sama di mata Tuhan,” kata Johannes.

Meskipun belum ditetapkan secara pasti, AKKBB berencana menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk membicarakan status aliran Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat. Mereka juga akan meminta pemerintah untuk bersikap adil terhadap kelompok tersebut. Menurut AKKBB, melindungi keselamatan jiwa dan harta benda setiap negara merupakan kewajiban pemerintah yang dilindungi dalam Undang-Undang Dasar 1945.

bagaimana memperbaiki?

Perempuan Pekerja Malam Dieksploitasi Seks

<!–

Satuan Keamanan PBB Diterjunkan

–>

Kamis, 17 januari 2008 | 14:41 WIBJakarta, Kompas – Ribuan perempuan pekerja malam di pelbagai tempat hiburan di Jakarta Barat rawan terhadap eksploitasi seks.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jakarta Barat Komisaris Suyudi Aria Seto yang ditemui hari Rabu (16/1) menjelaskan, di sektor panti pijat saja ada lebih dari 1.000 perempuan pekerja yang bekerja siang hingga dini hari.

”Kami akan proaktif mengawasi tempat hiburan malam dari kemungkinan eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak. Pengawasan juga dilakukan untuk memantau kemungkinan perdagangan manusia seperti baru saja diungkap. Pelbagai pihak akan terlibat, seperti LSM dan instansi terkait, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan,” kata Suyudi.

Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Barat mengungkap perdagangan perempuan di kawasan Taman Sari (Kompas 16/1). Sebanyak 16 perempuan muda dipaksa melacurkan diri di sebuah panti pijat yang beralamat di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dina (22), salah seorang korban yang baru empat hari disekap, mengaku dipaksa melayani tamu pria yang hadir dengan mengenakan biaya Rp 450.000. Dari jumlah tersebut, ia hanya menerima bagian Rp 250.000.

Berdasarkan data Dinas Pariwisata DKI Jakarta tercatat ada 70 panti pijat yang terdaftar di Jakarta Barat. Itu belum termasuk hiburan malam lain, seperti diskotek, karaoke, arena biliar, bar, dan pub.

Untuk panti pijat, sekurangnya sebuah panti pijat memiliki 20-an pekerja. Bahkan, di sebuah tempat hiburan dan spa SS di Jalan Hayam Wuruk ada sekitar 400 perempuan muda yang bekerja.

Menurut Suyudi, yang digolongkan eksploitasi pekerja anak jika korban berusia di bawah 18 tahun. Praktik eksploitasi anak melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ketika ditanya tentang adanya penjualan anak perempuan belasan tahun di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Suyudi membenarkan adanya praktik tersebut.

Menindaklanjuti perdagangan perempuan di Taman Sari, polisi, ujar Suyudi, sudah memeriksa beberapa saksi, tetapi belum ada tersangka yang ditahan.

Dalam pemantauan, ribuan perempuan muda dengan mudah ditemui di pelbagai tempat hiburan di Jakarta Barat. Di Kompleks Kota Indah, Jalan Pangeran Jayakarta, misalnya, terdapat belasan panti pijat, bar, dan tempat hiburan malam. Demikian pula di Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk.

Sejumlah tempat hiburan memiliki ruang kaca untuk memajang perempuan. (ONG)

susahnya rakyat

Selasa, 22 januari 2008 | 04:12 WIB Di Mana-mana Harga Bahan Pokok Melambung

Jakarta, Kompas  – Dalam sebulan terakhir harga komoditas bahan kebutuhan pokok di sejumlah provinsi terus melambung. Kenaikan harga terutama terjadi pada telur, minyak goreng, dan terigu. Pemerintah provinsi tidak bisa berbuat banyak karena kenaikan harga menyangkut kebijakan nasional.

Di Pasar Kranggan dan Pasar Beringharjo, Yogyakarta, tepung terigu yang semula Rp 6.000 per kilogram (kg) kini mencapai Rp 6.750 per kg. Harga telur pun naik Rp 1.000 dari harga sebelumnya Rp 9.500 per kg. Untuk minyak goreng curah, harga sebelumnya yang Rp 162.000 per kaleng ukuran 17 kg kini menjadi Rp 167.000.

Jika terigu dibanderol dengan harga Rp 6.300 per kg, di Beringharjo kini mencapai Rp 7.000. Kenaikan harga terigu disusul dengan naiknya harga bahan pangan dengan berbahan dasar terigu seperti mi instan. Jika satu dus sebelumnya dihargai Rp 30.000, sekarang dijual Rp 40.000. Demikian juga dengan kuetiau saat ini harganya Rp 3.000 per pak atau naik Rp 500 dari Rp 2.500.

Menurut Yadi (45), penjual bahan kebutuhan pokok di Pasar Beringharjo, kenaikan harga sudah berlangsung sejak awal Januari. Meski harga naik, para pedagang mengaku stok sembako mereka memadai. “Harga cenderung naik terus tiap pekan. Kami tidak semena-mena menaikkan harga karena harga kulakan memang naik,” kata Ndaruwati dari Toko Lestari, agen penyalur terigu dan minyak goreng di Bantul.

Sangat terbebani

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalsel Subarjo di Banjarmasin, Senin (21/1), menyatakan, masyarakat sangat terbebani. “Saya sudah menyampaikan permintaan ini beberapa hari lalu kepada pejabat terkait di departemen perdagangan,” katanya tentang harga minyak goreng curah eceran yang melonjak Rp 11.500-Rp 12.000 per liter dari harga sebelumnya Rp 11.000.

Subarjo meminta agar pemerintah menyediakan minyak goreng bersubsidi minimal 150.000 liter, sebagaimana disalurkan pada akhir 2007. Saat itu bantuan ditujukan untuk 75.000 keluarga miskin yang masing-masing menerima 2 liter dengan subsidi Rp 2.500.

“Sekarang penyaluran minyak bersubsidi itu jadi sangat diperlukan karena hampir semua harga barang kebutuhan sehari-hari naik,” kata Subarjo.

Beberapa pedagang gorengan di Banjarmasin mengaku, selain dampak kenaikan harga bahan pokok, keuntungan mereka juga turun karena kesulitan mendapatkan minyak tanah yang harganya mencapai Rp 4.000-Rp 5.000 per liter.

Berbagai provinsi

Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok nyaris serentak terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Banten, dan DKI Jakarta.

Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil, Menengah, dan Perindustrian Perdagangan Kota Bandung Ernawan Natasaputra mengatakan, kenaikan harga minyak goreng yang tertinggi, disusul kenaikan harga terigu dan kedelai, turut memusingkan pedagang.

Menurut Ny Ani (39), pedagang di Pasar Kosambi, Bandung, jika harga terus naik, pedagang tidak akan bisa memenuhi pasokan barang. Dengan pembeli yang makin turun, kenaikan harga jadi beban berat pedagang. “Jumlah pembeli turun 50 persen, bahkan kerugian saya hingga 100 persen. Pedagang banyak yang nombok karena modal dan penghasilan tak seimbang,” kata Ny Ani.

Ia menambahkan, harga minyak goreng bukan kemasan naik jadi Rp 10.500 dari Rp 8.000 per kg, sedangkan minyak goreng kemasan kelas satu Rp 12.500 per liter, naik dari sebelumnya Rp 10.000 per liter. Minyak goreng kemasan kelas dua naik dari Rp 9.000 jadi Rp 11.500 per liter.

Hal yang sama dikatakan Ny Anda (50), pedagang di Pasar Cihaurgeulis, Bandung. Ia terpaksa menurunkan permintaan barang kepada agen karena harga-harga semakin tak terjangkau lagi dengan modal yang ada. “Bila harga makin tinggi, lebih baik berhenti sementara,” ujarnya.

Di Pasar Wonokromo, Surabaya, harga minyak goreng curah dijual Rp 10.000-Rp 10.500 per kg, naik dari harga dua minggu lalu Rp 8.500. Harga gula pasir Rp 6.000-Rp 6.500 per kg, atau naik Rp 200 dari harga seminggu sebelumnya.

Ali (38), penjual kelontong di Pasar Wonokromo, mengatakan, kenaikan harga bukan karena pasokan berkurang, melainkan karena permainan distributor. Harga ayam potong empat hari lalu masih Rp 12.500-Rp 13.000 per kg, saat ini dijual Rp 15.000.

Kenaikan tertinggi dicatat oleh harga cabai merah besar yang mencapai Rp 12.000 per kg dan cabai merah kecil Rp 20.000 per kg. Harga itu naik 30 persen dari harga seminggu sebelumnya. Adapun bawang merah dari Rp 8.000 per kg naik jadi Rp 10.000 per kg dalam dua hari terakhir.

Seger (48), pedagang sayuran di Pasar Wonokromo, menambahkan, kenaikan harga cabai dan bawang merah disebabkan oleh kegagalan panen dan panen tak serentak di sentra produksi di Probolinggo dan Kediri.

Hingga Rp 17.000 per kg

Di Kabupaten dan Kota Serang, Banten, kenaikan harga minyak goreng curah hingga di atas Rp 17.000 per kg. Para pemilik warung terpaksa menaikkan harga karena takut tidak bisa lagi kulakan minyak goreng.

Kasmin, pemilik warung kelontong di Desa Margaluyu, Kasemen, Kota Serang, menjual minyak goreng curah bungkusan berisi seperempat liter seharga Rp 3.800 per bungkus. Sejumlah warung di Ciomas, Serang, menjual minyak goreng Rp 17.500-Rp 18.000 per kg. Di Pasar Induk Rau, Serang, pedagang menjual minyak goreng Rp 9.600-Rp 9.700 per liter, atau setara dengan Rp 12.000-Rp 12.125 per kg. Padahal, harga di tingkat distributor masih Rp 9.500-Rp 9.600 per kg.

Di Sumatera Utara dan Sumatera Barat kenaikan harga terjadi hampir di semua jenis bahan makanan yang berkomponen bahan impor, seperti minyak goreng, tepung terigu, dan mentega.

Di Pasar Ulak Karang, Padang, harga eceran minyak goreng Rp 10.000 per kilogram, bahkan di Medan dan Bandar Lampung Rp 10.500. “Setiap kali mengambil minyak goreng dari agen, harganya pasti naik. Kenaikan sekitar Rp 100 per kg dan tak pernah turun,” kata Linda, pedagang di Pasar Ulak Karang. (A06/A02/A11/PRA/ENY/MHF/AYS/BEN/SEM/KOR/FER/WSI/HLN/ITA/ART/CHE/FUL/BEE/A13/POL/NTA/ COK/ARN/RTS/MAS/DAY/HAM)

gara-2 salah urus negara

Masyarakat Mulai Ganti Beras dengan Umbi-umbian

<!–

Satuan Keamanan PBB Diterjunkan

–> Kamis, 24 januari 2008 | 03:44 WIBJakarta, Kompas – Sebagian warga Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Surabaya (Jawa Timur), Denpasar (Bali), dan Ambon (Maluku) memilih untuk menyubstitusi beras dengan ketela dan singkong untuk mengatasi kenaikan harga kebutuhan pokok saat ini. Namun, sebagian besar yang lain tak berdaya dalam situasi terjepit karena penghasilan masyarakat praktis tidak mengalami kenaikan.

Sejumlah warga Desa Grogol, Kecamatan Kapetakan, Cirebon, Rabu (23/1), terpaksa mengganjal perut mereka dengan umbi-umbian karena tak mampu membeli beras. Di desa yang umumnya dihuni buruh tani, petani kecil, dan nelayan itu, bahan makanan jadi mahal. ”Kami mencari beras menir (beras sisa penggilingan) dengan harga Rp 3.500 per kilogram. Harga beras sudah Rp 5.000 per kg di sini,” kata Tarnyi (50), buruh tani di Desa Grogol yang punya delapan anak. Ubi jalar seharga Rp 2.000 per kg menjadi makanan alternatif.

Darini, warga Desa Grogol lain, pun sejak beberapa hari terakhir memungkas daun pepaya atau kangkung di kebun dan persawahan desa untuk disayur. Ia pun makin sering utang ke warung tetangganya.

Iskak, warga RW 2 Kampung Pakopen, Desa Sindangjawa, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon, mengganti kompor minyak dengan kompor berbahan bakar limbah kayu atau serbuk gergaji.

Keluarga Suryanti (34), warga Rijali, Ambon, tak lagi makan daging ayam tiap hari, tetapi tiga hari sekali karena harga daging ayam Rp 25.000 per kg. Konsumsi tahu dan tempe pun di Ambon turun karena harga eceran tahu Rp 1.000 per potong sama dengan sebutir telur ayam. Ny Anton (32), warga Uritetu, harus memotong-motong telur gorengnya untuk keluarga supaya irit.

Kusnaeni (42), tukang becak di Pasar Wonokromo, Surabaya, hanya bisa sesambat hidup makin sulit. ”Dulu di warung makan bisa Rp 3.000-Rp 4.000 kenyang, sekarang naik jadi Rp 5.000 sekali makan. Padahal, kasilku gak nambah, cumak Rp 15.000 sampek Rp 20.000 per hari.” Triyono (41), pemilik warung makan di Kenjeran terpaksa mengurangi porsi untuk pembeli warung nasinya.

Di Denpasar, sejumlah warga terpaksa menurunkan standar jenis makanan. ”Biasanya kami mampu beli beras kualitas nomor satu. Seminggu terakhir ini standar turun,” kata Wayan Darmi, warga Renon. Harga beras kualitas sedang kini Rp 143.000 (25 kg) dan telur ayam naik dari Rp 600 jadi Rp 750-Rp 850 per butir. (EKI/ANG/NIT/A13/SIR/ ENY/RWN/BEN)

tentang fatwa

Uji Kelayakan Lembaga Fatwa

Mohamad Guntur Romli

Apa kriteria sebuah lembaga fatwa (dârul iftâ’) agar bisa dipercaya? Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibn Mandzur, fatwa memiliki beberapa makna. Yang terpenting: fatwa berarti penjelasan atas persoalan yang musykil dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.


Selanjutnya, ulama fikih membangun terminologi fatwa, yang saya sarikan dari pendapat Ibn Hamadan dalam kitab Al-Furuq, bahwa fatwa adalah penjelasan dan pemberitahuan tentang hukum syariat tanpa ikatan kemestian–tabyîn al-hukm al-syar’i wal ikhbar bihi duna ilzâm. Dari terminologi ini, fatwa adalah penjelasan dan pemahaman, maqam-nya bukan maqam syariat, dan perlu batas yang tegas antara fatwa dan hukum syariat.

Yang lebih penting lagi dari penjelasan tentang fatwa tersebut bahwa fatwa dari seseorang atau lembaga tidak mesti diikuti, tak ada keharusan untuk menjalankan sebuah fatwa. Kesimpulan yang bisa ditarik: sifat fatwa tidak mengikat, karena ia hanyalah penjelasan, kadarnya jauh di bawah hukum syariat. Hukum fatwa tidak mutlak sebagaimana hukum syariat.

Jarak antara syariat dan pendapat ini sangat disadari oleh para imam pendiri empat mazhab yang terkenal dalam fikih: Imam Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali. Menurut Imam Hanafi, “Tak seorang pun boleh mengambil pendapat kami, tanpa mengetahui asal-usul pendapat kami.” Imam Maliki berujar, “Aku manusia biasa, bisa benar dan salah, maka telaahlah pendapatku.” Imam Syafi’i menegaskan, “Jika Anda menemukan dalam kitabku yang bertentangan dengan sunah, ikutilah sunah dan tanggalkan pendapatku.” Imam Hanbali menyimpulkan, “Jangan bertaklid padaku atau pada Maliki, Syafi’i, Awza’i, atau Tsauri, ambillah asal-usul pendapat mereka.”

Para “imam-mazhab” itu sangat menyadari keterbatasan ijtihad manusiawi dan adanya batas di antara dua wilayah: syariat dan pendapat, serta iktikad untuk menggerus kerak fanatisme yang acap kali menutupi akal sehat umat.

Fatwa juga tidak bisa menjadi hukum publik. Dikisahkan dalam kitab Siyar A’lâm Nubalâ’(Biografi Para Tokoh yang Mulia), ketika seorang khalifah Bani Abbasiyah meminta Imam Malik menjadikan kitabnya, Al-Muwaththa’, menjadi hukum negara, dan menggantungkannya di Ka’bah, dengan tegas Imam Malik menolak.

Pun sebuah fatwa harus dikeluarkan dengan penuh hati-hati. Fatwa tak bisa dilontarkan secara amat mudah (al-tasâhul): tak semua pertanyaan dibutuhkan fatwa, tak harus menjawab seluruh pertanyaan gara-gara menjaga gengsi.

Menjawab semua pertanyaan adalah kegilaan. Dari hadis riwayat Al-Baihaqi, “Barang siapa yang menjawab seluruh pertanyaan dari manusia, berarti dia majnun. Singkatnya, mudah berfatwa hanya dilakukan oleh orang gila.”

Dengan demikian, para ulama fikih klasik yang memperbincangkan tema ini tidak memisahkan antara pentingnya fatwa sekaligus risiko dan dampak dari fatwa. Bagi mereka, ulama sebagai ahli waris para nabi (waratsatul anbiyâ’) memiliki posisi yang penting untuk melayani permintaan dan menjawab pertanyaan umat.

Namun, risikonya jauh lebih besar. Dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Darami, misalnya, “Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian berarti ia paling berani masuk neraka.” Karena itulah, fatwa hanya berasal dari mereka yang memiliki bekal ilmu pengetahuan yang lebih. Bagi mereka yang berfatwa–dalam beberapa riwayat hadis disebutkan “tanpa ilmu”–diancam hukuman berlapis-lapis: “dilaknat malaikat langit dan bumi”, “didudukkan di atas api neraka”, dan “menanggung dosa dari manusia yang mengikuti fatwanya”.

Namun, yang terjadi saat ini bertolak belakang. Dalam konteks politik, fatwa kekinian yang sering dimunculkan hanyalah doktrin bahwa ulama ahli waris nabi, sedangkan kewajiban dan kriterianya dibenamkan dalam-dalam.

Padahal Nabi Muhammad diakui sebagai nabi karena memiliki kriteria kenabian, yang membedakan dia dengan mereka yang hanya mengaku-ngaku nabi. Secara otomatis, bagi mereka yang ingin dianggap sebagai ahli waris nabi, tentu saja harus memiliki kriteria. Bila tidak, mereka hanya mengaku-ngaku ahli waris nabi.

Percakapan tentang kriteria ulama yang mampu berfatwa inilah yang raib dari percakapan publik. Maka tak mengherankan bila fatwa malah menimbulkan kekacauan. Dalam kondisi ini, perlu ada pembenahan yang harus dilakukan dimulai dari pemerintah. Dalam sepanjang sejarah, sebuah majelis fatwa tak terpisah dari kekuasaan.

Dalam pengantar kitab Al-Majmû’ karya Imam Al-Nawawi, ditegaskan: pemerintah memiliki kewajiban menyeleksi para mufti, bila layak, ditetapkan, bila tidak, mesti diturunkan. Dalam istilah sekarang, seorang mufti harus melewati uji kelayakan. Sayangnya, hal ini tidak terjadi di negeri ini. Dalam kitab ini juga diceritakan bahwa Imam Malik tidak pernah berani berfatwa kecuali setelah ada 70 orang yang memberi kesaksian bahwa ia layak berfatwa.

Semestinya uji kelayakan ini diterapkan pada sebuah lembaga fatwa di mana pun, termasuk di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia perlu melewati uji kelayakan, karena MUI hasil bentukan pemerintah sebagai alat kepentingan Orde Baru, sehingga memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan pemerintah, baik dari sisi sejarah maupun donor dana. Dan uji kelayakan terhadap MUI ini juga bertujuan menjaga martabat dan integritas organisasi itu.

Prediksi ke depan, menurut saya, akan sangat mudah kalau hanya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa fatwa adalah pendapat tentang hukum syariat, bukan syariat itu sendiri. Sifat fatwa tidak mutlak dan tak mesti dituruti, mengingat masyarakat di negeri kita pun sangat mengenal keragaman fatwa. Karena itu, tak layak apabila fatwa dijadikan penghakiman berlebihan terhadap orang lain atau fatwa dipandang dengan penuh fanatik, apalagi dijadikan dalih sebagai kekerasan terhadap pihak lain.

Para penegak hukum di negeri ini semestinya berpegang teguh pada konstitusi negeri ini, bukan pada fatwa-fatwa keagamaan itu, yang sifatnya sama sekali tidak mengikat. Konstitusi kita menjamin kebebasan dan keragaman beragama di negeri ini. Maka jangan pedulikan, bahkan lemparkan jauh-jauh, fatwa yang menolak keragaman itu.
Namun, langkah yang terberat, dan mungkin sebuah misi yang mustahil, melakukan pembenahan dalam organisasi fatwa, terutama menggelar ujian kelayakan bagi para mufti itu. Sebab, ketika fatwa mereka dikritik dan dipertanyakan kelayakannya karena lebih banyak menimbulkan mafsadah daripada maslahah– dengan munculnya kekacauan di mana-mana–mereka akan balik mendamprat, “Kami ahli waris para nabi.”

Sumber: Koran Tempo, Jumat 18 Januari 2008


http://korantempo. com/korantempo/ 2008/01/18/ Opini/krn, 20080118, 61.id.html

Lia_2

Kebebasan Beragama dalam Konteks Indonesia

(Peningkatan Kesadaran Islam Pribumi)1

Oleh: Hilyatul Auliya

Budaya sebagaimana yang kita ketahui memiliki peran signifikan dalam proses penyebaran suatu agama. Agama akan lebih akseptabel di kalangan masyarakat luas bila ia mampu memahami tradisi yang dianutnya. Budaya juga, sering dianggap sebagai sesuatu yang given, terjadi secara alami dan apa adanya. Padahal, budaya adalah ciptaan manusia secara kolektif yang punya tujuan tertentu, dan ia menjadi identitas pembeda yang cukup fundamental antara yang satu dengan yang lain.

Sebenarnya, budaya tidak hanya digunakan sebagai sarana pursuit of total perfection, penyempurnaan kehidupan manusia, tetapi sekaligus digunakan sebagai sarana menciptakan glory (kemegahan). Dus, hegemoni, dan imperialisme kebudayaan sangat tidak bisa dielakkan. Budaya pada akhirnya juga dijadikan sebagai sarana penaklukan dan penguasaan atas budaya lain dengan alasan apapun. Dan semuanya cenderung pada penguasaan yang bersikap hegemonik maupun represif. Maka, tidak mengherankan apabila kemudian imperialisme kebudayaan juga akan bertransformasi menjadi kolonialisme politik.

Agama dan politik, sejak lama telah disebut-sebut merupakan dua aspek elementer dalam peradaban manusia, yang memiliki urgensitas pengaruh dan peran. Karenanya, persoalan hubungan antar keduanya pun juga telah menjadi bahan kajian dan pemikiran para ilmuwan, filosof maupun para teolog dalam sepanjang sejarah. Sebab politik selalu mempengaruhi agama, sekurang maupun sebanyak agama mempengaruhi politik, sementara upaya untuk memahami keduanya secara terpisah, cenderung malah mengaburkan persoalan dan bukan semakin memperjelasnya.

Relasi agama dan politik ini kemudian diperkeruh oleh identitas-identitas kebudayaan yang konon lebih bersifat lokal-temporal tinimbang agama itu sendiri yang universal. Carut marut antara wilayah agama dan budaya tidak kurang rumitnya daripada agama dan politik. Bahkan dalam konteks kebudayaan jauh lebih pelik karena ia tidak hanya bergerak dalam level tindakan tetapi juga adat (kebiasaan) yang menyejarah dan menjadi identitas sebuah Bangsa.

Proses kedatangan Islam ke Indonesia, yang relatif damai dan adem-ayem menemukan momentumnya untuk dibuktikan. “Serbuan” yang keduakalinya para penyebar belakangan ini, bagaikan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Disatu sisi, fenomena tersebut bisa dimaknai sebagai kebangkitan Islam, namun disisi lain, tampilan wajahnya yang tidak bersahabat dengan “warna” lain, sekaligus menjerumuskan citra Islam itu sendiri.

Islam tentu saja agama bagi semua manusia, dimanapun ia berada. Keanekaragaman budaya dan adat istiadat manusia di muka Bumi ini, bukankah salah satu tanda kebesaran Tuhan itu sendiri, sama halnya dengan diturunkannya al-Qur’an. Bukankah keduanya adalah “ayat-ayat’-Nya. Lalu, haruskah semuanya menjadi seragam dalam satu budaya yang satu (Arab). Bila kita menolak dijajah Barat secara politik-ekonomi-budaya, kenapa kita harus tunduk dijajah Arab secara Agama?

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dalam mengadaptasi kebudayaan Arab dalam mengekspresikan keberagamaan atau keislaman seseorang. Tetapi ketika Arabisasi atau proses pengidentifikasian diri dengan budaya Timur Tengah dianggap sebagai ekspresi tunggal dan diyakini paling absah dalam beragama dan berkebudayaan, sehingga ekspresi kearaban menjadi dominan, bahkan menghegemoni budaya dan tradisi lain sehungga menyebabkan tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih parah lagi tradisi Indonesia kemudian dianggap sesat, musyrik atau bid’ah. Selain itu, Arabisasi belum tentu cocok sesuai dengan kebutuhan. Maka, pribumisasi bukan hanya upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, tetapi justru ia berperan sebagai “cagar budaya” Indonesia.

Relasi antara budaya (adat) dan agama (fiqh), memang berkaitan erat dengan tema pribumisasi Islam. Ushul fiqh misalnya mengadopsi kaidah al-‘adat muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Namun, harus digarisbawahi bahwa adat tidak bisa mengubah nash. Adat hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja.

Pribumisasi Islam dengan demikian, merupakan jawaban dari “Islam otentik” yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia sehingga Islam hanya dipandang sebagai tunggal bukan majemuk. Pribumisasi Islam mengasumsikan bahwa Islam yang di Timur Tengah bukan Islam murni yang paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.

Pribumisasi Islam, memang bukan hanya sebatas wacana mengenai kebudayaan dan dominasi, namun juga bisa menjadi sarana tentang diferensiasi dan resistensi. Wacana tentang kekuasaan (agama) bukan hanya mengenai dominasi dan hegemoni, melainkan juga tentang hubungan antara pusat (Arab) dan periferi (‘ajam) yang sifatnya mendua, penuh ambivalensi. Ada kecenderungan dari pusat untuk melakukan homogenisasi, penyeragaman, namun melahirkan salinan yang kabur (burred copy) dipinggiran.

Sehingga, wilayah periferi tidak pernah memproduksi secara tepat kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan institusi-institusi yang mereka peroleh dari pusat. Mimikri selalu menghasilkan salinan yang kabur dari apa yang ditiru. Dengan kata lain, hubungan antara pusat dan periferi adalah hubungan yang ambivalen. Di satu sisi ada peniruan, namun juga ada sisi-sisi pengejekan dan bahkan resistensi.

Hal ini mirip dengan apa yang disebut fenomena globalisasi dan logika modernitas. Ada kecenderungan untuk menyeragamkan, seperti tampak dalam arus yang dikenal dengan “McDonaldisasi” atau “Amerikanisasiâ€. Tapi, dibalik semuanya ada juga lokalisasi yang berupa dialog, negosiasi atau bahkan resistensi dengan menolak atribut-atribut globalisasi. Dan hubungan tersebut sangatlah kompleks, tumpang tindih dan tidak sesederhana membentangkan busur panah dan mengarahkannya secara lurus ke sasaran.

Hal ini menunjukkkan Islam Indonesia (Islam pribumi) yang notabene Islam yang sama dengan Islam Arab, Islam China atau Islam manapun di dunia secara ajaran. Ia bisa jadi berbeda, namun hanya pada tataran atribut yang kamuflatif, bukan pada esensi Islam itu sendiri. Islam Indonesia menawarkan Islam yang tetap shaleh secara teologis sekaligus secara kultural.

Penghakiman terhadap kontradiksi dalam pengekspresian keislaman adalah kecenderungan untuk mengunakan bahasa prosais dengan makna denotasinya, tapi jika kita menghormati kontradiksinya maka kita akan melihat makna yang beraneka, sebuah peningkatan kesadaran Islam pribumi yang menjelma menjadi puisi.

 

 

1 Tulisan ini dibuat oleh Hilyatul Auliya sebagai syarat pendaftaran peserta Pelatihan Jaringan Islam Kampus II yang diadakan oleh JarIK Jogja dan LSAF.

 

CURICULUM VITAE

Nama : Hilyatul Auliya, S.Th.I

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta, 01 Juni 1981

Alamat Kos : Jl. Timoho 124 Yogyakarta 55281

Alamat Rumah : Gintung Tengah 19 A Ciwaringin Cirebon

No. Hp : 081392069663

Pendidikan

1. Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin,UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000-2005

2 Konsentrasi studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam, Jurusan Hukum Islam, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006-Sekarang

Pengalaman Organisasi

1. BEM Jurusan Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

3. PMII Rayon Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

4. Suluh Perdamaian Yogyakarta

5.IKMP (Ikatan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

pinggiran 2

KONTEKSTUALISASI SURAT AL-MA’UN

(Kendala Tradisi dan Pengembangan Makna untuk

Pelayanan dalam Islam)

Hamim Ilyas**

MODERNITAS yang intinya adalah perubahan, kebebasan dan rasionalitas, menuntut agama untuk merumuskan kembali perannya dalam masyarakat. Dahulu dalam masyrakat pra-modern yang berbasis kesukuan dan agama, agama memiliki peran sentral; sebagai sistem interpretasi sekaligus sistem sosial yang seringkali dilaksnakan dengan mengorbankan sekaligus sistem sosial yang seringkali dilaksanakan dengan mengorbankan manusia. Sekarang dalam masyarakat modern yang berbasis negara, kedua peran itu tidak lagi dimiliki oleh agama. Continue reading