kolokium pemikiran islam di muhammadiyah

Tafsir Sebagai Resepsi al-Qur’an;

Ke Arah Pemahaman Kitab Suci dalam Konteks Keindonesiaan1

Dr.phil. H. M. Nur Kholis Setiawan2

(UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

a. Peta Konseptual

Al-Qur’an

Realitas Sosial

memunculkan

Metode Tafsir

menghasilkan

Karya-Karya Tafsir

membentuk

Perspektif

memandang

Masalah Sosial dan Kemanusiaan

terdiri

Keadilan

Persamaan

Gender

Kemiskinan

Lingkungan

b. Sepintas tentang kajian al-Qur’an

Kajian al-Qur’an yang salah satu sub disiplinnya adalah tafsir merupakan disiplin inti dalam pembidangan keilmuan keislaman. Disiplin ini memberikan pengaruh besar terhadap keilmuan keislaman seperti jurisprudensi Islam, tasawuf, serta falsafah. Salah satu indikatornya adalah penelitian Fuat Sezgin dalam Geschichte des arabischen Schriftums yang menunjukan banyaknya karya tafsir, baik yang telah dianotasi dan diterbitkan, maupun yang masih berupa manuskrip, dalam khazanah intelektual Islam klasik.3 Hanya saja,

materi tafsir belakangan ini dirasa membosankan, mengingat materi yang diajarkan tidak banyak berorientasi pada kebutuhan, meminjam istilah Rahman, tidak selaras dengan tantangan modernitas. Kurikulum pengajaran tafsir belum diawali dengan pijakan filosofis apa, kapan, mengapa, dan bagaimana disiplin ini penting dalam diskursus keislaman secara umum. Disamping itu, design materinya masih didominasi issu keagamaan an sich seperti ayat-ayat hukum, ibadah, serta lainnya, dan belum banyak diarahkan kepada persoalan-persoalan kontemporer, seperti etika lingkungan, etika politik, HAM, gender, serta persoalan sosial lainnya.

Baik di komunitas pesantren maupun perguruan tinggi agama, tafsir nyaris merupakan disiplin yang dianggap final serta sempurna. Pengkajian terhadapnya dipadati dengan pembacaan yang berulang-ulang, al-qirā’ah al-mutakarrirah, dan tidak banyak bergerak menuju pembacaan yang kritis terhadap karya tersebut, al-qirā’ah al-muntijah. Hal ini salah satunya disebabkan oleh statemen Ahmad ibn Hanbal yang menyatakan bahwa tafsir tidak memiliki pijakan, laysa lahā asl, sehingga statusnya tidak berbeda dengan malāhim dan maghāzī.4 Perlakuan yang demikian menyuburkan “ketakutan” untuk meyakini bahwa tafsir sejatinya tidak pernah mengenal henti, mengingat tugas dan fungsinya adalah memberikan penjelasan tambahan akan makna ayat yang didasarkan pada realitas sosial yang senantiasa berkembang. Melalui tafsir ini sejatinya teks keagamaan menjadi luwes dan senantiasa berpihak kepada kemanusiaan.

Tulisan ini bermaksud mengupas tafsir sebagai resepsi al-Qur’an yang sejatinya merupakan tugas akademik yang tidak mengenal henti. Disamping itu, artikel ini juga dimaksudkan untuk memberikan nuansa bagi pengembangan tafsir dalam dalam konteks keindonesiaan. Bahasan dalam artikel ini diawali dengan diskursus intelektual klasik seputar disiplin ini dan diakhiri dengan rekomendasi kritis ke arah pengembangan berwawasan keindonesiaan.

c. Tafsir sebagai Resepsi al-Qur’an

Sejarah resepsi al-Qur’an tidak hanya berupa pengaruh estetik al-Qur’an dalam kehidupan komunitas muslim awal.5 Termasuk dalam sejarah resepsi ini adalah reaksi para pendengar dan pembaca al-Qur’an dalam bentuk penjelasan makna dan arti ayat-ayat tertentu yang dirasa memerlukan penjelasan lebih lanjut. Dalam konteks ini, telah disepakati bahwa hanya Nabi yang merupakan satu-satunya sumber dalam memahami al-Qur’an.6 Salah satu contohnya adalah pertanyaan sahabat mengenai makna ayat 82 surat al-An‛am (6), wa-lam yalbisū īmānahum bi-zulmin, “dan mereka tidak mencampur adukkan keimanan dengan kezaliman”. Pertanyaan tersebut berangkat dari asumsi bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menghindarkan diri dari berbuat zalim, sekecil apapun perbuatan itu. Nabi kemudian menjawab bahwa yang dimaksud dengan zalim dalam konteks ayat tersebut adalah syirik, sesuai dengan bunyi ayat 13 surat 31; inna l-syirka la-zulmun ‛azīm, “sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat”. Penafsiran terhadap ayat yang lain yang dilakukan Nabi adalah 48:26, wa-alzamahum kalimata t-taqwā, “dan Allah mewajibkan mereka kalimat taqwa”. Kata taqwa dalam ayat ini ditafsirkan oleh Nabi dengan “kalimat tauhid”, yakni tidak ada Tuhan selain Allah.7

Meski Nabi melakukan penafsiran terhadap beberapa ayat seperti yang dicontohkan dalam paragraf di atas, tidak berarti bahwa Nabi melakukannya terhadap semua ayat yang ada dalam al-Qur’an. Sebaliknya, beliau hanya memberikan interpretasi terhadap beberapa ayat saja, dan bahkan menurut penuturan Aisyah, apa yang dilakukan Nabi juga berdasarkan petunjuk malaikat Jibril.8 Meski dalam perkembangan tafsir pada era setelah Nabi banyak para mufassir yang menyandarkan penafsiran-penafsirannya pada komentar dan interpretasi yang dilakukan Nabi. Penafsiran Nabi kemudian dilanjutkan oleh generasi sahabat dan tabiin. Diantara empat sahabat yang kemudian juga menjadi khalifah, Ali ibn Abī Tālib merupakan tokoh yang amat “monumental”9 mengingat ia melakukan pendekatan terhadap al-Qur’an yang melampaui batas-batas zamannya, dan bahkan jika diukur dengan parameter kontemporer, ia telah melakukan terobosan metodologis yang amat maju. Hal ini dikarenakan statemennya bahwa al-Qur’an adalah teks yang tidak berbicara, yang bisa membuat al-Qur’an berbicara adalah manusia sebagai pembacanya. Ia menyatakan bahwa al-Qur’an hanyalah tulisan yang dihimpun dalam dua sampul buku yang tidak berbicara, kecuali manusia membuatnya bisa berbicara.10

d. Teorisasi Bahasa dalam Tafsir Klasik

Era Mujāhid ibn Jabbār merupakan pangkal dari perkembangan teorisasi bahasa yang erat kaitannya dengan interpretasi al-Qur’an. Mujāhid dengan beberapa sarjana segenerasinya memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sebagai pijakan penafsiran metaforis terhadap teks keagamaan. Salah satu contohnya adalah penafsiran Mujāhid terhadap al-Baqarah 65: wa-laqad ‛alimtum allażīna ‛tadaw minkum fi s-sabti fa-qulnā lahum kūnū qiradatan khāsi’īn (dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabat, lalu kami berfirman kepada mereka, “jadilah kamu kera yang hina”). Frasa “jadilah engkau kera yang hina” oleh Mujāhid tidak diartikan secara fisik bahwa orang berubah wujud menjadi kera, akan tetapi hanya perilakunya. Hal ini disebabkan “kalimat tersebut merupakan permisalan, matsal, yang dipakai oleh Tuhan, seperti halnya dalam al-Jumu’ah (62) ayat 5: matsal allażīna hummilū t-tawrāta tsumma lam yahmilūhā ka-matsali l-himāri yahmilu asfāra (perumpamaan orang-orang yang dipikulkan taurat kepadanya, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal.11 Mujāhid memberikan teladan kreativitas kepada generasi semisal Qatāda (w. 117/735)12 Ibn Juraij (150/767),13 Muqātil ibn Sulaymān (150/767)14 dan beberapa mufasir klasik lainnya. Secara umum kontribusi beberapa sarjana tersebut bisa dipilah dalam tiga model karya besar, yakni i) tentang mikro-struktur al-Qur’an, ii) tentang stilistika al-Qur’an, dan iii) semantik al-Qur’an.

i). Mikro-struktur al-Qur’an

Yang pertama, tentang mikro-struktur al-Qur’an adalah karya-karya yang banyak dicurahkan kepada aspek-aspek “struktural”—bukan dalam pengertian strukturalisme yang biasa dipakai dalam kritik sastra. Yang dimaksud dengan struktural di sini adalah perhatian karya kesarjanaan terhadap struktur kata dan kalimat yang dipakai oleh al-Qur’an, yang diantaranya meliputi al-hażf, elliptik, al-taqdīm wa l-ta’khīr, susun balik, al-nafi, negasi, dan sebagainya. Karya kesarjanaan yang banyak mengulas hal tersebut pada abad kedua sampai dengan tiga Hijrah adalah yang memakai judul ma‛ānī l-qur’ān. Menurut laporan al-Zubaidī15 dalam Tabaqāt, diantara karya dengan judul demikian adalah tulisan Hamzah Kisā’ī (w. 189/805), Nadr ibn Syumail (w. 203/818), Abū Ziyād al-Farrā’ (w. 210/825), al-Zajjāj (w. 311/923).

Analisis mikro-struktur yang dilakukan oleh al-Kisā’i pada batas-batas tertentu memasukkan elemen kemanusiaan dalam ranah bahasa. Bahasa al-Qur’an dalam pandangan sarjana semisal al-Kisā’i menjadi wilayah yang thinkable, sebuah pergeseran wilayah hermeneutis—meminjam istilah kontemporer—yang sejatinya telah banyak dilakukan para pemikir klasik. Jika kita mengikuti kategorisasi bahasa yang dilakukan oleh ahli semiotik Jurij Lotman, yakni i), bahasa natural, natürliche Sprache, ii) bahasa seni, künstliche Sprache, dan iii) bahasa sekunder, sekundäre Sprache, yakni struktur komunikasi,16 maka perlakuan para sarjana Muslim klasik tentang al-Qur’an masuk dalam kategori di luar batas-batas bahasa natural. Logikanya, jika hanya terpaku dengan kategorisasi Lotman, bahasa al-Qur’an yang di luar batas-batas bahasa natural tersebut unthinkable (tak terpikirkan). Melalui pergumulan intelektual, dalam khazanah klasik wilayah unthinkable tersebut tergeser menjadi thinkable.

Salah satu contoh analisis mikrostruktur al-Kisā’i adalah ayat 234 al-Baqarah yang olehnya diyakini memiliki elliptik. Ayat tersebut adalah wa-yażarūna azwājan yatarabbasna bi-anfusihinna arba‛ata asyhurin wa-‛asyra (istri yang ditinggal mati oleh suaminya ber-‛iddah empat bulan sepuluh hari). Frasa menunggu untuk dirinya sendiri, yatarabbasna, sejatinya memiliki unsur kalimat yang dibuang, mahzūf, yakni, suami mereka, azwājahunna. Pertimbangan eliptik di sini, oleh sarjana pada era berikutnya seperti al-Jāhiz dinamai dengan prinsip “ekonomi kata”, ījāz, sebagai salah satu bentuk eloquency ekspresi dalam bahasa.

Aspek lain dalam diskusi mikro struktur dalam kalimat adalah tentang susun balik, taqdīm wa ta’khīr. Salah satu contohnya adalah al-Anbiya (21):3,wa-asarrū n-najwā allażīna zalamū (dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka). Baik al-Farrā’ maupun al-Kisā’i memahami bahwa kalimat dalam ayat tersebut memiliki susun balik, karena asal dari susunan kalimatnya adalah wa l-lażīna zalamū asarrū n-najwā, dimana frasa wa l-lażīna zalamū merupakan subyek, sedangkan asarrū merupakan predikat dan al-nağwā adalah obyeknya. Dengan susunan yang ada dalam ayat memberikan implikasi penekanan makna terhadap frasa yang pertama yakni asarrū n-najwā sedangkan allażina zalamū tidak mendapatkan prioritas atau penekanan makna. Susun kalimat seperti dalam ayat membawa kepada arti bahwa perbuatan yang dilakukan (merahasiakan pembicaraan) lebih penting dalam konteks ayat tersebut ketimbang pelaku perbuatan tersebut.17

Khusus untuk al-Farrā’ dalam analisis mikro-strukturnya terhadap ayat-ayat al-Qur’an juga telah menggunakan beberapa terminus yang dalam perkembangan selanjutnya dipakai sebagai terminus technicus sastra Arab. Istilah yang dimaksud adalah majāz, tropik, yang menjadi inti dari penafsiran susastra al-Qur’an pada era setelah al-Farrā, setidaknya dikembangkan oleh sarjana semisal Ibn Qutayba, penulis Ta’wīl Musykil al-Qur’ān. Meski al-Farrā tidak menggunakan kata majāz dalam Ma‛āni l-Qur’ān, akan tetapi tajāwuz dalam beberapa eksplanasinya, kedua istilah tersebut bisa didekatkan dalam satu pengertian, yakni penafsiran yang melampui batas-batas grammatikal.

ii) Stilistik al-Qur’an

Stilistika al-Qur’an yang dimaksud di sini bukanlah perbincangan mengenai pelbagai aspek dan perkembangan dalam dunia stilistik yang secara umum berkenaan dengan seni pengungkapan.18 Yang menjadi penting dalam stilistika al-Qur’an adalah kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa para sarjana Muslim klasik berusaha keras untuk menunjukkan eloquency al-Qur’an, fasāha, melalui cara pandang stilistik. Disamping itu, diskursus tentang teori makna dalam kesarjanaan klasik menunjukkan relasi yang intens antara teori bahasa Arab dengan al-Qur’an sebagai teks. Wacana yang berkembang dalam khazanah kesarjanaan klasik adalah hubungan antara kata dengan makna kata serta antara kalimat dan makna kalimat. Sementara itu, dalam kurun antara abada ke dua sampai dengan 5 Hijrah ma‛nā menjadi terminus technicus yang khas dalam teorisasi bahasa, baik berkenaan dengan fungsi leksikal bahasa, sintaktik maupun stilistik.19

Berkenaan dengan diskursus makna, pernyataan al-Jahiz (255/868) memiliki arti penting.20

al-ma‛ānī al-qā’imatu fī sudūri l-ibādi al-mutashawwiratu fī ażhānihim wa-l-mutathallibatu fī nufūsihim wa l-muttashilatu bi-khawātirihim wa l-hāditsatu an fikrihim mastūratun khafiyyatun wa-ba‛īdatun wa-mahjūbatun maknūnatun fī manan madūmatin lā yarifu l-insānu dhamīra shāhibihi wa-lā hājata akhīhi…wa-alā mā lā yublighuhū min hājati nafsihī illā bi-ghayrihi”

Kutipan ini menunjukkan bahwa makna, menurut al-Jāhiz, hanya bisa dikomunikasikan dengan orang lain melalui sebuah medium, baik lisan maupun tertulis. Sebaliknya, tanpa perangkat tersebut makna yang dimiliki seseorang tidak akan pernah bisa dipaham. Dalam kaitan dengan al-Qur’an sebagai media komunikasi Tuhan dengan manusia, al-Jāhiz berkeyakinan bahwa terdapat hubungan yang dinamis antara pembaca dengan al-Qur’an. Baginya, relasi yang dinamis tersebut tergambar dalam dalālah yang dimiliki al-Qur’ān, pilihan kata yang dimiliki serta prinsip ekonomi kata.

Arti penting pilihan kata yang dipakai al-Qur’an dalam mengkomunikasikan makna ditemukan al-Jahiz ketika ia membandingkannya dengan sya’ir-sya’ir baik Arab jahiliyah maupun Islam. Baginya, hanya al-Qur’an yang memiliki karakter tutur yang tidak pernah “muspro”. Salah satu contohnya adalah kosa kata mathar dan ghayts yang dua-duanya berdenotasi hujan.21 Kesalahan para sastrawan Arab adalah memperlakuakan dua kosa kata tersebut sebagai sinonim, padahal al-mathar dalam pemakaian al-Qur’an senantiasa berhubungan dengan siksa22, seperti yang terdapat dalam 4:102 wa-lā junāha alaykum in kāna bikum ażan min matharin aw kuntum mardhā an tadhaū aslihatakum. Sementara penggunaan kasa ghayts dalam al-Qur’an senantiasa dihubungkan dengan rahmat Tuhan.

Sedangkan aspek lain yang masuk dalam diskusi stilistik al-Jāhiz adalah prinsip ekonomi ungkapan, ījāz. Prinsip ini dalam teori bahasa kontemporer termasuk salah satu indikator efektivitas bahasa dalam mengkomunikasikan sesuatu. Salah satu contoh yang diberikan al-Jahiz adalah penggunaan kata mar‛ dalam 79 (al-Nāzi‛at) ayat 30-31: wa l-ardha bada żālika dahāha akhraja minhā mā’ahā wa-marāhā, “dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan mata air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya”. Kata mar‛ mencakup semua jenis tumbuhan konsumsi seperti sayuran, rerumputan, umbi-umbian, serta sayur mayur yang tanpa batang, seperti daun kol, melone, buncis dan sebagainya. Al-Qur’an tidak menyebutkan keseluruhan tumbuhan tersebut akan tetapi hanya diringkas dalam kosa kata mar‛ sebagai bahan makanan bagi umat manusia serta binatang ternak seperti yang disinggung dalam ayat selanjutnya, matāan lakum wa-li-anāmikum. 23

iii). Semantik al-Qur’an

Satu hipotesa yang bisa diterima berkenaan dengan semantik adalah pembedaan antara “makna dasar” dan “makna relasional”. Makna dasar sebuah kosa kata adalah sesuatu yang memang dimiliki oleh kata tersebut, dimanapun kosa kata tersebut dipakai, sementara, makna relasional adalah makna konotatif, yang dalam prakteknya sangat bergantung kepada konteks. Untuk itu, setiap kata yang diambil terpisah dari struktur kalimat akan memiliki arti, yang terkadang lebih populer dengan istilah makna leksikal. Dan kosa kata al-Qur’an juga tidak terkecuali. Setiap kosa kata dalam al-Qur’an juga memiliki makna dasar serta makna relasional. Sebagai contoh adalah kata “kitāb”. Kosa kata ini awal mulanya berarti “buku”, sementara dalam al-Qur’an kata ini bisa berarti al-Qur’an, wahyu, Kodeks Yahudi dan Kristen selaras dengan konteks pembicaraanya.24

Perbincangan tentang semantik al-Qur’an tidak akan diarahkan kepada pelbagai mażhab dalam disiplin semantik. Karya kesarjanaan klasik, terutama yang bertitel al-wujūh wa l-nazā’ir25 menunjukkan akan “kesadaran semantik”. Kata wajh sebagai terminus tertentu bagi makna tambahan dari makna dasar khususnya dalam al-Qur’an pertama kali dipakai berdasarkan komentar Ali ibn Abī Tālib (w.42/662). Diriwayatkan bahwa Abi Talib memerintahkan Ibn Abbās untuk menolak pemahaman keagamaan Khawarij dengan menggunakan sunnah tidak dengan al-Qur’an. Hal ini dikarenakan al-Qur’an memiliki beberapa “wajah”, dengan komentar Ali selengkapnya: “janganlah engkau berargumen menghadapi mereka dengan al-Qur’an karena ia memiliki berbagai wajah, „wa-lā tujādilhum bi l-qur‘āni fa-innahu hammālu żī wujūhin“.26

Muqātil ibn Sulaimān menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qur’an disamping memiliki arti yang definit, nggenah, juga memiliki beberapa alternatif makna lainnya. Salah satu contohnya adalah kata mawt, yang memiliki arti dasar “mati”. Menurut Muqātil dalam konteks pembicaraan ayat, kata tersebut bisa memiliki empat arti alternatif, yaitu i) tetes yang belum dihidupkan, ii) manusia yang salah beriman, iii) tanah gersang dan tandus, serta iv) ruh yang hilang. Dalam konteks ayat 39 (az-Zumar) :30 sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati juga”, kata tersebut berarti mati yang tidak bisa dihidupkan kembali. Berkenaan dengan kemungkinan makna yang dimiliki oleh kosa kata dalam al-Qur’an Muqatil menyatakan bahwa “seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-Qur’an sebelum ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi yang dimiliki al-Qur’an tersebut.27

e. Reaktualisasi Tafsir sebagai Disiplin Keilmuan

Ulasan di atas sepintas menunjukkan dominasi nalar Arab sebagai episteme, meminjam istilah yang dipopulerkan ‛Abid al-Jābirī, dalam bangunan tafsir sebagai metode memahami al-Qur’an. Hal tersebut tidak berarti bahwa disiplin ini tidak terbuka untuk dikembangkan dengan memanfaatkan khazanah keilmuan kemanusiaan (humaniora) yang bersifat teritorial. Dalam beberapa karya kesarjanaan Nusantara, pemikir Indonesia telah banyak melakukan enkulturasi budaya lokal dalam memahami al-Qur’an. Tafsir al-Huda, misalnya, sebuah karya tafsir berbahasa Jawa menunjukkan kentalnya warna budaya Jawa dalam proses pemahaman ayat-ayat al-Qur’an.28 Dalam wilayah yang sedikit berbeda, sosok Mangkoenegara IV, penguasa kesunanan Surakarta dapat pula dijadikan sebagai contoh. Ia memberikan “penolakan” serius terhadap Arabisasi fikih, sebagai hasil interpretasi dari ayat-ayat hukum, yang dipraktekkan oleh Muslim Jawa. Dalam serat piwulang ditemukan syair-syair yang menunjukkan ketidak setujuan Mangkunegara akan praktek ibadah yang sangat Arab. Baginya, fikih (pekih) tidak seharusnya dipraktekkan secara utuh seperti yang tertulis dalam literatur Arab, melainkan disesuaikan dengan tingkat kelayakan Jawa.29 Dengan kata lain, ada nilai-nilai luhur Jawa yang tidak boleh begitu saja ditinggalkan.

Dalam konteks Indonesia kontemporer, desakan untuk memaksimalkan peran pranata Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengalami eskalasi yang signifikan. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa desakan tersebut berbeda tingkat intensitas serta cara yang digunakan. Kelompok pertama, misalnya, menyuarakannya dengan sangat lantang bahkan melalui bentuk formal suara di parlemen untuk mengamandemenkan UUD 1945 dengan piagam Djakarta. Sementara kelompok yang kedua lebih cenderung non formal dalam arti lebih mementingkan spirit keislaman dalam kehidupan bermasyarakat ketimbang legal formalnya. Perbedaan model perjuangan kedua kelompok tersebut juga melahirkan perdebatan serius. Ada yang memunculkan slogan “selamatkan Indonesia dengan syari’ah”, di lain pihak ada pula yang menyuarakan “selamatkan Indonesia dari syari’ah.30

Desakan dua belah pihak tersebut sejatinya meninggalkan persoalan serius, yakni apa yang dimaui dengan syari’at Islam sebagai bagian dari interpretasi terhadap al-Qur’an. Pertanyaan tersebut merupakan kuriositas epistemologis, agar pranata hukum yang diperjuangkan tidak mengalami kendala serius semenjak awal diterapkan. Berbicara tentang pranata hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, seseorang tidak bisa melupakan peran KUHP dan KUH Pidana (Wetboek van Strafrecht/WvS), warisan kolonial. Meski pemerintah melalui GBHN sejak tahun 1973 sampai dengan 1999 telah menggariskan upaya pembangunan dan pembentukan hukum nasional, namun realisasi dari pencanangan tersebut sampai saat ini masih belum terwujud. GBHN 1999 menegaskan arah kebijakan hukum nasional ini, yakni dinyatakan antara lain:

“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak-adilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi” (Bab IV. A. 2)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa pembangunan hukum nasional secara garis besar bersumber pada 1) hukum adat, 2) hukum agama, 3) hukum mancanegara, khususnya dari hukum barat.31

Hukum Islam, sebagai salah satu hasil dari proses interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an, merupakan hukum agama yang paling dominan di Indonesia. Oleh karenanya, dalam konteks GBHN di atas, ia memiliki kedudukan yang strategis sebagai bahan bagi pembentukan hukum nasional. Untuk itu, pembahasannya tidak hanya berkutat pada pencarian legitimasi legal-formal, akan tetapi harus diarahkan pada seberapa banyak hukum Islam menyumbangkan nilai-nilainya dalam rangka pembentukan hukum nasional sehingga terwujud kemajuan, keteraturan, ketenteraman dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.32

Legislasi dalam bidang perdata di Indonesia, sebagaimana telah diketahui, sudah cukup banyak yang bersumber dari hukum Islam, di samping dari hukum lain terutama hukum Barat. Sementara dalam bidang hukum pidana, hukum Islam belum memberikan kontribusi, karena memang hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih menggunakan hukum pidana warisan kolonial Belanda. Karena itu pula perlu ditelusuri kemungkinan kontribusi hukum pidana Islam untuk menjadi salah satu bahan bagi pembentukan hukum pidana nasional.

Berkenaan dengan kebutuhan kontribusi tersebut, yang perlu mendapatkan catatan kritis adalah bagaimana fikih–sebagai elemen inti hukum Islam—mampu menghadirkan dirinya sebagai hukum yang bercorak Indonesia. Ketetapan hukum yang dilahirkan melalui proses istinbāt tidak mungkin memiliki corak keindonesiaan, apabila tidak dibarengi dengan rumusan kritis metodologisnya. Salah satu contohnya adalah konsep tentang ijmak—yang dalam pengetahuan ushul fikih—merupakan salah satu instrumen penting. Persoalannya adalah ketika ijmak dipahami secara letterlijk ( literal) dalam khazanah literatur ushul fikih sebagai kesepakatan para agamawan, dalam suatu teritorial dan masa tertentu, maka implementasi ijmak akan sangat kesulitan ketika dikaitkan dengan elemen Islam yang ada di Indonesia. Perbedaan organisasi serta institusi keislaman di Indonesia turut mewarnai keragaman pendapat serta paham keagamaannya. Sebagai misal, kesepakatan ulama dalam Muhammadiyah akan suatu hal tidak menjamin kesepakatan serupa dari kalangan Nahdlatul Ulama untuk kasus yang sama. Demikian pula yang dilakukan oleh MUI, Persis, maupun organisaasi keislaman lainnya. Hal seperti itu salah satunya menjadikan pengertian ijmak tidak bisa terimplementasikan dengan baik. Untuk itu, perlu dipikirkan lebih serius bagaimana meredefinisi ijmak sebagai instrumen penting dengan tidak meninggalkan ruh yang dikehendaki oleh para perumus dalam khazanah ushul fikih klasik.

Sebagai sebuah alternatif, ijmak seharusnya tidak dipahami secara tekstual absolut, melainkan dilihat semangat intelektual yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, bisa saja ijmak hanya merupakan konsensus sebagian kelompok dengan tetap masih menghargai konsensus kelompok lain yang berpendapat berbeda. Bukankah ushul fikih juga mengajarkan bahwa hasil ijtihad tidak bisa dirusak oleh ijtihad yang lain, al-ijtihād lā yunqadu bi l-ijtihād,33 serta al-Syafi‛i sendiri menegaskan bahwa tatkala ada sebuah hadits yang telah teruji kesahihannya dengan sendirinya “membatalkan” pendapat serta ijtihadnya, fa-iżā sahha al-hadīth fa-huwa mażhabī .

Untuk persoalan pidana, tidak berlebihan jika kita melihat proposal pemikiran Shahrur34 yang menitikberatkan pada teori batas. Batas yang dimaksud adalah bagaimana teks keagamaan, dalam hal ini al-Qur’an, secara konseptual sejatinya mendorong reseptor untuk berfikir kreatif menangkap pesan moral yang dibawa teks. Kasus pemidanaan, menurut Shahrur, tidak harus di-amar-kan sesuai dengan bunyi letterlijk teks, melainkan diselaraskan dengan peradaban komunitas yang menjalankannya. Kasus pencurian, misalnya, terpidana pencuri tidak harus serta merta dipotong tangannya—seperti yang biasa ditemukan dalam literatur fikih—melainkan dilihat apa, bagaimana, berapa, serta mengapa pencurian terjadi. Artinya, elemen-elemen sosial, ekonomi dan budaya turut memberikan konsiderasi apakah sebuah pencurian layak mendapatkan ketetapan pidana potong tangan, seperti bunyi lettelijk al-Māidah 38.

Shahrur sama sekali tidak bermaksud untuk mengeliminasi ketetapan yang dimuat dalam al-Maidah 38 tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukum potong tangan hanyalah sebagai batas maksimal dari denda kasus pencurian, dan tidak ada lagi hukuman yang lebih tinggi. Demikian pula, karena ketetapan tersebut merupakan batas maksimal, al-hadd al-a‛lā, maka logikanya masih banyak jenis hukuman bagi kasus pencurian yang berada di bawah level potong tangan. Untuk itu, wilayah ijtihad dalam persoalan pencurian ini adalah menentukan jenis apa dan bagaimana yang bisa dikategorikan sebagai batas maksimal, serta menentukan dan memberikan jenis hukuman yang lebih rendah bagi pencurian-pencurian yang tidak sampai pada derajat maksimal.

Kasus lain yang juga tidak mesti letterlijk dijalankan dalam pemikiran Shahrur adalah pembagian harta warisan yang menyiratkan 2:1 antara laki-laki dan perempuan. Teks dalam al-Nisa ayat 3 oleh Shahrur dianggap sebagai teks yang memiliki dalālah batas atas dan batas bawah sekaligus.35 Batas atas diperuntukkan bagi laki-laki, dan batas bawah diperuntukkan bagi perempuan. Jika formula 2:1 diterapkan, maka bagian laki-laki adalah 66,6 persen, sedangkan bagian untuk perempuan adalah 33,3 persen. Keduanya merupakan batas atas dan batas bawah. Formula ini tidaklah matematis harus seperti itu, akan tetapi bisa dikembangkan sesuai dengan konstruk sosial budaya masyarakat muslim. Bisa saja, seorang anak laki-laki mendapatkan bagian 60 persen dan anak perempuan mendapatkan 40 persen. Wilayah ijtihad terletak pada daerah antara batas atas bagi laki-laki dan batas bawah bagi perempuan yang disesuaikan dengan kondisi obyektif masyarakat. Dengan kata lain, Shahrur hendak menegaskan bahwa dalam pembagian warisan, aspek lokalitas turut memberikan warna dalam pergeseran 66,6 banding 33,3 persen tersebut.

Dalam kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat urban yang kaum perempuan banyak yang tidak tergantung sepenuhnya kepada nafkah suami, pergeseran formula tersebut sangat dimungkinkan. Persoalannya adalah, mampukah disiplin tafsir yang berkembang di perguruan tinggi agama serta pesantren membaca gelombang perubahan kultur tersebut. Tanpa bermaksud untuk mengurangi pesan yang ada dalam teks keagamaan, upaya “merasionalkan” keadilan dalam pembagian waris bagi masyarakat modern yang mengakui kesetaraan gender, merupakan upaya yang harus disambut positif. Melalui model pemikiran Shahrur masyarakat muslim Indonesia memiliki ruang yang cukup untuk memberikan kontribusi sekaligus “memberdayakan” tafsir sebagai salah satu bangunan metodologis melahirkan ketetapan hukum.

Pemberdayaan tafsir melalui rekonstruksi tafsir yang bernuansa keindonesiaan merupakan tugas yang berat. Untuk itu keterlibatan agamawan serta ilmuwan agama menjadi sangat penting karena bisa diharapkan menjadi penyebar semangat ke arah pemahaman yang lebih kontekstual dan dinamis. Jika berkaca kepada kekayaan khazanah intelektual klasik yang mengedepankan kreativitas serta kompetisi sehat dalam melahirkan karya kesarjanaan, niscaya cita-cita menghadirkan konstruk tafsir Indonesia bukanlah sebuah utopi. Sekedar ilustrasi sederhana, adalah al-Juwainī (w. 478/1085), tokoh ushul fikih Syafi’ian36 yang tidak sepenuhnya sama pandangan-pandangannya dengan al-Syafi’i. Dalam banyak hal, termasuk dalam aliran teologi, menurut ‛Umar Rida Kuhāla serta Fuat Sezgin, tidak sepenuhnya menyetujui pendapat-pendapat para pendiri aliran yang diikutinya. Sebagai seorang Asy’arian, ia dalam banyak hal tidak menyetujui pendapat Abu Hasan al-‛Asy‛ari (w. 324/935).37 Sosok seperti al-Juwainī, meski ia lebih dikenal sebagai tokoh ushul fikih, inilah yang perlu diteladani dalam pengembangan tafsir bernuansa keindonesiaan.

Pengembangan semangat intelektual dalam khazanah turath klasik yang disertai dengan perangkat kearifan lokal Nusantara menjadi alternatif metodologis dalam memberikan pemaknaan al-Qur’an dalam konteks keindonesiaan. Persoalan sosial dan kemasyarakatan di Indonesia, seperti hubungan antar agama, krisis lingkungan hidup, serta sumber daya alam, misalnya. sangat membutuhkan sentuhan tafsir yang membumi. Hanya dengan pendekatan kearifan lokal yang digabungkan dengan perangkat metodologis tafsir, penafsiran terhadap al-Qur’an bisa dibawa dalam konteks keindonesiaan kontemporer yang tengah dililit pelbagai persoalan sosial.Seperti pernah disinggung dalam ulasan sebelumnya, kearifan lokal yang diwakili oleh Mangkunegara IV yang menolak “arabisasi” ajaran Islam layak untuk dihidupkan kembali semangatnya. Dengan demikian, konstruk tafsir Indonesia yang lebih mencerminkan budaya dan cara beragama Indonesia menjadi sesuatu yang tidak mustahil untuk bisa diwujudkan.

1 Disampaikan dalam Kolokium Nasional Pemikiran Islam, UMM, 11 Februari 2008

2 Anggota Tim Tafsir Tematik Departemen Agama; Dosen Mata Kuliah Kajian al-Qur’an dan Pemikiran Hukum Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Pascasarjana IKAHA Tebuireng Jombang; Direktur Pascasarjana Universitas Sains al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah; Dewan Pengasuh Pesantren Wahid Hasyim, Gaten, Yogyakarta; Pengurus Pusat Lakpesdam NU.

3 Lihat, Fuat Sezgin, Geschichte des Arabischen Schriftums, Leiden, E.J. Brill 1945, jilid I, 45-46., Bandingkan Helmut Gätje, Grundriß der Arabischen Philologie, Wiesbaden, Ludwig Reichert Verlag 1987, jilid II, 122-127.

4 Al-Suyūtī, al-Itqān fī ‛Ulūm al-Qur’ān, Bandung: Dar al-Ma’rifa tt., 87.

5 Pengaruh estetik al-Qur’an terhadap kehidupan para pengimannya menjadi bahasan penelitian Navid Kermani, sarjana Jerman kelahiran Iran, yang diterbitkan serta dialihbahasakan ke pelbagai bahasa. Buku aslinya berjudul Gott ist schön: Das Ästhetische Erleben des Koran, München, C.H. Verlag 2001. Lihat ulasan terhadapnya, M. Nur Kholis Setiawan, “Tuhan Maha Indah: Telaah Terhadap Efek Estetik al-Qur’an”, dalam al-Jāmi‛ah Journal of Islamic Studies, Juni 2002.

6 Al-Żahabī, al-Tafsīr wa l-Mufassirūn, I, 36.

7 Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, v, 138.

8 Selengkapnya seperti yang dituliskan oleh al-Tabari, ما كان رسول الله صلعم يفسر شياء من القران الا ايا بعدد علمه اياهن جبريل . Lihat, al-Tabarī, Jāmi‛ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, Cairo, al-Maktabah al-Āmiriyya 1312, jilid I, 21; al-Qurtubī, al-Jāmi‛ li-Ahkām al-Qur’ān,Beirut 1945, jilid I, 31; Ahmad Amīn, Duhā al-Islām, Matba‛a Lajna al-Ta’līf wa l-Tarjama wa l-Nasyr 1933, jilid II, 138.

9 Tentang kiprahnya bisa dilihat dalam ibn ‛Asākir, Tarjama al-Imām ‛Ali ibn Abī Tālib min Tārīkh Madīna Dimasyq, Beirut 1975, jilid II, 486 stt.

10 “al-qur’ān bayn daftayi al-mushafi la yantiqu, wa-innamā yatakallamu bihi al-rijāl”. Kutipan dari Abū Zaid yang mengambil dari al-Tabarī. Lihat, Abū Zaid, Naqd al-Khitāb al-Dīnī, Cairo 1992, 56, 74, 87.

11 Mujāhid ibn Jabbār, Tafsīr Mujāhid, ed., Tāhir Muhamad al-Suratī, Islamabad, t.th. juz I, hal. 77-78.

12 Tafsir Qatāda ditahqiq oleh ‛Abdullāh Abū Su‛d berjudul Tafsīr Qatāda: Dirāsah li l-Mufassir wa-Manhaju Tafsīrih, Cairo 1979.

13 Karya Ibn Juraij ditahqiq oleh Ali Hasan ‛Abdulghani dalam Tafsīr ibn Juraij, Cairo 1992.

14 Muqātil ibn Sulaiman termasuk salah satu sarjana yang mempopulerkan berbilangnya arti yang dimiliki oleh al-Qur’an. Karyanya yang paling masyhur adalah al-Asybāh wa l-Nazā’ir fi l-Qur’ān al-Karīm, ed., Mahmūd Muhammad Shihāta, Cairo 1975, dan Tafsīr Muqātil ibn Sulaymān, ed., Ahmad Saqr, Cairo 1976.

15 al-Zubaidī, Tabaqāt al-Nahwiyyīn wa l-Lughawiyyīn, ed., Muhammad Fadl Ibrāhīm, Cairo 1954, 16. Sedangkan karya dengan judul Ma‛ānī l-Qur’ān sejak awal sampai dengan abad ke lima Hijrah menurut penulis biografi intelektual jumlahnya beragam. Ibn Nadim dalam al-Fihrist menyebutkan 26 karya, sedangkan Isa Syihāta, pentahqiq Ma‛āni l-Qur’ān karya al-Kisā’i menyebutkan 18. Lihat al-Kisā’ī, Ma‛ānī l-Qur’ān, ed., Isa Syihāta, Cairo 1998, 2-3.

16 Jurij Lotman, Die Struktur literarischer Texte, terj. Rudolf Dietrich Keil, München 1972, 22, idem, Die Analyse des poetichen Texte, Kronberg 1975, 31-32.

17 al-Kisā’ī, Maānī l-Qur’ān, 195. al-Farrā, Ma‛āni l-Qur’ān, 201.

18 Informasi lengkap mengenai stilistik sebagai elemen ilmu bahasa bisa didapatkan dalam F. Eberhard, Text und Stilrezeption; empirische Grundlage zur Stilistik, Königstein, Althenaeum 1980; F. Wolfgang, Name und Text; ausgewählte Studien zur Onomastik und Stilistik, Tübingen, Niemeyer 1992; F. Norbert, Stilistik, Narrativik, Metaphorik: Neure Textbeschreibungsmodelle in ihrer Anwendbarkeit auf amerikanische Prosa, Heidelberg, Winter 1995.

19 al-Ferrani, Die Manā Theorie bei Abd al-Qāhir al-Jurnī (g. 471/1079) Versuch einer Analyse der poetischen Sprache, Frankfurt am Main, Peter Lang 1990, 41-42.

20 Pemikiran al-Jāhiz tentang teori sastra telah menjadi bahan penelitian, diantaranya Mishal Asī, Mafāhīm al-Jamāliyya wa-l-Naqd fī Adab al-Jāhiz, Beirut, Dār al-‛Ilm li-l-Malāyīn 1974; Idrīs Bilmalīh, al-Ru’ya al-Bayāniyya ind al-Ğahiz, al-Dār al-Baydā’, Dār al-Thaqāfa 1984; Fawzī al-Sayyīd, al-Maqāyīs al-Balāghiyya ind al-Jahiz fī-l-Bayān wa-l-Tabyīn, Beirut, Dār al-Thaqāfa 1983.

21 “al-arabu rubbamā istakhaffat aqalla-l-lughatayni wa-adh‛afahumā, wa-tastamilu mā huwa aqalla fī ashli-l-lugha istimālan wa-tadhau mā huwa azhara wa-aktsara”. Al-Ğahiz, al-Bayān wa-l-Tabyīn I, 20.

22 Al-Bayān wa l-Tabyīn, I, 20.

23 Ayat-ayat yang lain diantaranya 36:80; 56:71-74. Al-Bayān wa-l-Tabyīn, III, 33 dan II, 193, al-Hayawān V, 99.

24 Madigan, The Qur’ān’s Self-Image: Writing and Authority in Islam’s Scripture, Princeton, Princeton University Press 2001.

25 Karya-karya dengan judul al-Wujuh wa l-Nazā’ir semenjak era Muqātil ibn Sulaymān sampai dengan abad ke lima Hijrah diantaranya adalah Muqātil ibn Sulaymān, al-Asybāh wa l-Na‘ir, ed., Mahmūd M. Syihāta, Kairo, al-Hay’a al-Misriyya al-Āmma li l-Kitāb 1975; Yahyā ibn Salām, al-Tasārīf; Tafsīr al-Qur’ān min-mā isytabahat Asmā’uhū wa-Tatharrafat Ma‛ānīhī; al-Hākim al-Tirmiżī, Tahshīl Na’ir al-Qur’ān, ed. Nasr Zaydān, Kairo 1970; al- Tsa‛alabī, al-Asybāh wa l-Nazā’ir fī l-Alfāz al-Qur’āniyya allatī Tarādafat Mabānīhā wa-Tanawwa’at Ma‛ānīhā, ed. Muhammad al-Masri, Damaskus, Sa’dudin li-l-Tiba’a wa-l-Nasyr 1984.

26 al-Suyūtī, al-Itqān fī ‛Ulūm al-Qur’ān, jilid I, 141.

27 Abū Zaid, al-Ittijāh al-Aqlī, 98

28 Lihat penelitian Imam Muhsin dalam “Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal: Studi Enkulturasi Nilai-Nilai Etika Jawa dalam Tafsir al-Huda” Disertasi, PPs UIN Sunan Kalijaga 2007.

29 Lihat Ardani, Konsep Sembah dan Budiluhur dalam Pemikiran Mangkunegara IV Surakarta Ditinjau dari Pandangan Islam Jakarta UI Press 1990, 8.

30 Mengenainya ada kutipan sebagai berikut: ” tentang buku yang berjudul selamatkan Indonesia dengan Syari’ah saya setuju dengan anda.. akan tetapi karena anda menggunakan kata “dengan”, saya cenderung untuk menggunakan kata “dari”, sehingga yang aku setujui adalah selamatkan Indonesia dari Syari’ah. Lihat Ahmad Sahal dalam Burhanudin, (ed), Syari‘at Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: Jaringan Islam Liberal/The Asia Foundation, 2003, 225-226.

31 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, hlm. 174-175.

32 Ibid, hlm. 174-178.

33 Al-Suyūtī, al-Ashbāh wa l-Nazā’ir fi l-Furū‛, Dar Ihyā al-Kutub al-‛Arabiyya, t.th., 76.

34 Penulis al-Kitāb wa l-Qur’ān, Qirā’ah Mu‛āsira, dan Nahwa Ushūlin Jadīda li l-Fiqh al-Islāmī. Keduanya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

35 Shahrur, al-Kitāb wa l-Qur’ān, hal 457-462.

36 Ia dijuluki Imam al-Haramain karena kepakarannya dalam disiplin fikih dan ushul fikih. Diantara karyanya adalah al-Burhān fī Ushūl al-Fiqh, Cairo, Dār al-I‛tisām, t.th.

37 Bandingkan Rida Kuhāla, Mu‛jam al-Mu’allifīn, II, 67; Fuat Sezgin, Geschichte des Arabischen Schriftums, Leiden, E.J. Brill 1972, 103.

One Response

  1. Kalian orang tolol dan dungu semua…

Leave a comment