Dialog Budaya

Dialog Budaya dengan tema “Merajut Harkat dan Martabat Bangsa Melalui Kebhinekaan” bersama Anand Krishna (Spiritualis, Humanis, Nasionalis, penulis 108 buku dalam kurun waktu 10 tahun) dilakukan pada:

Hari : Selasa, 4 Maret 2008

Jam : 14.30-17.15 WIB

Tempat : Gedung Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Keynote Speech: Dr. H. Hamim Ilyas (Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Moderator : M. Subkhi Ridho (Koordinator JARIK Jogja)

kegiatan ini disemarakkan dengan penampilan National Integration Movement (NIM) Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang) dengan membawakan lagu-lagu kebangsaan bercirikan pluralitas.

Dihadiri 200-an undangan dari pelbagai kalangan: pekerja sosial (Ornop), akademisi, mahasiswa, organisasi keagamaan (MUI, PGI, WKRI, BDI), Muda-mudi Katolik, gerakan mahasiswa, serta masyarakat umum….peserta dengan khidmat menyimak dari awal acara hingga akhir kegiatan..hanya satu-dua orang yang pulang lebih awal…..

berita dari KOMPAS Yogyakarta

Kebhinnekaan Realitas Bangsa
Spiritualitas Menjadi Dasar bagi Multikulturalisme

Rabu, 5 Maret 2008 | 12:25 WIB

Oleh Agni Rahadyanti

YOGYAKARTA, KOMPAS – Kebhinnekaan merupakan realitas bangsa yang tidak bisa dimungkiri keberadaannya. Untuk mendorong terciptanya perdamaian dalam kehidupan bangsa dan negara, kebhinnekaan pun harus mampu dimaknai masyarakat melalui pemahaman multikulturalisme dengan berlandaskan kekuatan spiritualitas.

Dalam dialog budaya Merajut Harkat dan Martabat Bangsa Melalui Kebhinnekaan di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (4/3), spiritualis Anand Krishna mengungkapkan, dengan spiritualitas, perbedaan-perbedaan bisa hidup berdampingan secara damai. Dalam kondisi yang berbeda-beda, justru budaya Nusantara-lah yang bisa mempersatukan bangsa.

Seperti gado-gado, semua sayur tetap dengan bentuknya masing-masing. Yang mempersatukan adalah bumbu kacang, ucap Anand. Tidak seperti konsep mixed fruit, yaitu mencampur semua buah ke dalam blender untuk dihancurkan bersama menjadi satu minuman baru.

Penuntun

Namun, tanpa spiritualitas, masyarakat akan sulit menerima dan saling memahami perbedaan yang ditemuinya. Agama juga menjadi penuntun masyarakat untuk menentukan langkahnya. Anand mencontohkan, agama juga harus mendasari politik, agar politik benar-benar mampu mencapai tujuan sucinya untuk kemaslahatan rakyat banyak. Namun, institusi agama harus dipisahkan dari politik agar tidak terjadi politisasi agama, kata Anand mengingatkan.

Dalam dialog budaya tersebut, dosen Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Hamim Ilyas mengemukakan saat ini kebhinnekaan sendiri masih lebih banyak menjadi laknat dan belum bisa menjadi rahmat bagi bangsa Indonesia. Kebhinnekaan belum banyak ditransformasikan melalui multikulturalisme dalam kehidupan sehari-hari.

Multikulturalisme yang sudah ada sejak dulu masih sebatas realitas sosial dan belum menjadi ideologi. Hubungan antarkelompok masih terjadi saling hegemoni. Ketika multikultural sudah menjadi ideologi, pola hubungan pun semestinya bukan invasi lagi, melainkan sudah memasuki era konvergensi, tutur Ilyas. Ketika bertransformasi, masyarakat tidak hanya sekadar tinggal bersama (co-eksistensi), tetapi juga saling memberdayakan (pro- eksistensi).

Ayat-ayat suci yang dijadikan dasar spiritualitas dalam bertransformasi pun hendaknya tak hanya dibaca dari kitab suci semata. Namun, penuntun itu juga bisa ditemukan dalam sejarah dan kehidupan sehari-hari.

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.05.12253528&channel=2&mn=167&idx=167

JARIK Jogjakarta telah menjalin aliansi dengan beberapa lembaga yg konsen dengan isu kebebasan beragama serta berjejaring dengan ornop gerakan gender……dll..

Leave a comment